Senin, 10 Agustus 2015

MASJID PATHOK NEGORO WONOKROMO KABUPATEN BANTUL - D.I. YOGYAKARTA

Masjid Pathok Negoro Taqwa ini terletak bersebelahan dengan tempuran antara sungai Opak dan Oya. Masjid Taqwa berdiri di atas tanah putih seluas 5000 m2. Luas bangunan masjid ini saat didirikan adalah 420 m2 dan hingga kini telah dilakukan pengembangan sehingga luasnya menjadi 750 m2. Bagian serambi luasnya 250 m2, dan ruang perpustakaan seluas 90 m2, dan halaman seluas 4000 m2.


Sejarah berdirinya masjid Taqwa bermula dari seorang tokoh yang bernama Kyai Mohammad Fakih. Beliau adalah seorang guru agama Islam. Dia bertempat tinggal di desa Ketonggo. Selain itu, ia senang membuat 'Welit' (atap rumbia) tapi terbuat dari daun ilalang bukan dari daun tebu. Karena hasil kerjanya itu ia dikenal dengan sebutan "Kyai Welit". Welit-welitnya tidak terjual, hanya kalau ada orang membutuhkan diberikan begitu saja.
Pada suatu ketika Sultan Hamengkubuwono I hendak menemui Kyai Moh Fakih. Setelah bertemu, Sultan Hamengkubuwono I mengutarakan kehendaknya untuk menuntut ilmu atau "ngangsu kaweruh". Namun Kyai Moh. Fakih merasa keberatan, karena pada prinsipnya beliau memberikan ilmu hanya kepada murid-muridnya. Maka setelah itu, Sultan Hamengkubuwono I menyamar sebagai utusan Sultan. Penyamarannya ini tidak diketahui oleh Kyai Moh. Fakih. Karena niatnya yang sungguh-sungguh agar diterima sebagai murid, maka permintaan itupun dikabulkannya. Pada saat itu Sultan meminta nasehat kepada Kyai Moh. Fakih tentang bagaimana negara menjadi aman. Kyai Moh. Fakih menasehatkan, pertama, agar Sultan melantik orang-orang yang dapat mengajar dan menuntun akhlak dan budi pekerti yang disebut "Pathok".
Pathok-pathok ini dikemudian hari karena jabatannya itu kemudian dianugerahi tanah perdikan (tanah bebas pajak). Kedua, Sultan harus memilih "Kenthol" (kepala pedesaan/desa) yang karena tugasnya ia diberi tanah pelungguh.
Saran tersebut disetujui oleh Sultan Hamengkubuwono I. Pathok-pathok tersebut ditempatkan di desa Mlangi, Plosokuning, Babadan Gedong Kuning, Ringinsari Genthan, Demak Ijo, Klegum, Godean dan Jumeneng. Akhirnya Sultan memohon kepada Kyai Moh. Fakih agar sudi bersembahyang Jum'at di masjid Besar Yogyakarta, di hari Jum'at Kliwon. Selain itu Sultan mengutus utusan ke Laweyan Surakarta, memohon kepada Ki Derpoyudo agar bersedia bersembahyang pula di Masjid Besar Yogyakarta di hari jum'at Kliwon, sebab setelah selesai sholat Jum'at Sultan akan mengadakan sarasehan. 
 

 
  Sarasehan yang di lakukan setelah sholat Jum'at itu antara lain diikuti oleh Sultan Hamengkubuwono I, Kyai Moh. Fakih dan Ki Derpoyudo yang intinya membicarakan bagaimana agar negara bisa menjadi aman tentram. Pada saat itu Ki Derpoyudo memberikan keterangan kepada Sultan Hamengkubuwono I bahwa, Kyai Moh. Fakih itu adalah putra menantu dari anaknya yang sulung. Dengan kata lain, Kyai Moh Fakih adalah kakak ipar Sultan Hamengkubuwono I, sebab Sultan adalah menantu Ki Derpoyudo dari putrinya yang kedua.
Sejak peristiwa itu, Sultan sangat cinta dan asih kepada Kyai Moh. Fakih, karena di samping kakak iparnya, ia juga sebagai gurunya, sehingga ia sering dipanggil "Ngabiyantoro" (menghadap ke Kraton).
 
 
Pada tahun 1702-1775 M Sultan Hamengkubuwono I berniat menunaikan ibadah haji. Karena keadaan belum begitu aman, beliau mengutus Kyai Moh. Fakih ke Mekah untuk menghajikan Sultan. Kyai Moh. Fakih bermukim selama dua tahun di Mekah, sebab di tahun pertama ia menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri, dan di tahun ke dua ia menunaikan ibadah haji untuk Sultan. Pada tahun 1701 1774 M dengan candra sengkala "Nyata Luhur Pendhita Ratu" Kyai Moh. Fakih dilantik menjadi kepala Pathok, dan dianugerahi tanah perdikan di sebelah selatan Ketonggo, yang masih berupa hutan. Karena hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon awar-awar, maka disebut "alas awar-awar". Tanah anugrah Sultan yang masih berwujud hutan awar-awar itu kemudian dibuka dan kemudian didirikan sebuah masjid kecil.
Setelah selesai, Kyai Moh. Fakih ngabiyantoro (menghadap) kepada Sultan untuk menyampaikan laporan bahwa di atas tanah perdikan itu sudah didirikan sebuah masjid. Atas amanat (kehendak) Sultan Hamengkubuwono maka hutan awar-awar yang sudah di buka dan sudah didirikan masjid itu diberi nama "WA ANA KAROMA" yang maksudnya "Supaya benar-benar Mulya" atau "Agar Mulya Sungguh-sungguh". Pengangkatan Kyai Moh. Fakih menjadi Kepala Phathok Negara itu hanyalah karena semata cinta dan asihnya dan jasa Kyai Moh. Fakih yang sangat besar terhadap negara.
Kyai Muhammad Fakih ini juga disebut juga Kyai Sedo Laut (meninggal di laut) karena sepulang dari tanah suci pada tahun 1757, kapal yang ditumpanginya karam di selat Malaka. Kyai Muhammad Fakih karam di laut, sedang putranya KH Abdullah terdampar di selat Malaka.
 
Arsitektur Masjid
Arsitektur bangunan induk masjid Taqwa berbentuk kerucut (lancip) dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedang bangunan serambi berbentuk limasan dengan satu pintu di depan. Semua bahan bangunannya dari bambu, atapnya terbuat dari welit, dan dindingnya dari gedhek. Begitu gambaran bentuk masjid ini di masa lampau.   
Tempat wudhu terbuat dari padasan, yang ditempatkan di halaman masjid di sebelah utara dan selatan. Ada dua sumur dan ada dua pohon randu untuk tempat senggot menimba air. Bentuk bangunan serta bahan bangunan tak pernah berubah dalam kurun waktu yang sangat lama, sampai pada tahun 1867 M pada periode Kyai Muhammad Fakih II, baik atap bangunan maupun tembok ada sedikit perubahan. Atap bangunan diganti genteng dari tanah liat, tembok disusun dari batu bata yang direkatkan dengan tanah liat, lantai dibuat dari komposisi aci dari gamping dan tumbukan bata merah dan pasir.
 
Pada tahun 1913 M, bangunan masjid dirombak total, kerangka bangunan dari bambu diganti dengan kayu nangka. Tembok diplester (ditembok) dengan komposisi pasir dan acian kapur dengan tumbukan bata merah. Demikian juga lantainya diganti dengan komposisi bahannya seperti komposisi bahan untuk tembok.
 
Pada awal berdirinya, bentuk masjid masih sangat sederhana dan apa adanya. Serambi masjid berbentuk limasan, sedang bangunan masjid berbentuk kerucut. Bentuk bangunan ini bertahan sampai tahun 1867 M. Pada tahun ini, oleh Kyai Muhammad Fakih II bentuk bangunan masjid dibongkar diganti dengan bentuk atap tumpang. Sedang bangunan serambi tetap berbentuk limasan. Di puncak atap tumpang, mustoko yang dulu hanya dari kuwali yang dibuat dari tanah liat kemudian diganti dengan bentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka.
 
Tidak hanya bentuk bangunannya yang diubah oleh Kyai Muhammad Fakih II. Kerangka yang semula bambu sebagian besar diganti dengan kayu nangka dan sebagian dengan gelugu. Tembok yang semula hanya dari gedhek (anyaman bambu) diganti dengan batu bata yang direkatkan dengan tanah liat yang diplester dengan adukan aci gamping dengan tumbukan bata dan pasir. Demikian juga lantainya dibuat dari bata yang ditata lalu diplester dengan adonan seperti membuat tembok. Oleh Kyai Muhammad Fakih II, ruangan di dalam masjid ditambah. Di sisi kiri dan kanan bangunan masjid atau sebelah utara dan selatan ruangan masjid dibuat ruangan untuk jamaah sholat bagi kaum putri yang disebut pawestren. Tempat wudhu yang semula dari padasan, kemudian dibuatkan kolam di depan serambi masjid. Air dialirkan dari sungai Belik.
 
Pada tahun 1958, bangunan masjid kembali dibongkar. Bentuk bangunan masjid dengan bentuk atap tumpang tetap dipertahankan, malah ditambah dengan gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang sebelah atas dan atap tumpang sebelah bawah.
 
Bangunan serambi masjid diperluas. Kolam di tempat wudhu diurug (ditimbun) tanah dijadikan halaman masjid. Tempat wudhu dibuat kulah yang berada di sisi utara dan selatan serambi masjid. Pawestren tempat jamaah sholat untuk kaum putri tetap dipertahankan. Bangunan masjid diganti tembok yang disemen. Empat tiang utama di dalam masjid menjadi terlihat jelas. Tempat khotib dibuatkan rumah-rumahan semacam gazebo ukuran 2 x2 m. Di bagian serambi ada beberapa tiang dari cor beton dan di dalam serambi tiang dibuat dari balok kayu jati. Di depan serambi masjid dibuat kanopi (kuncungan). Lantai ruangan masjid maupun serambi diganti dengan tegel. Di dalam ruangan masjid, tegel dibuat warna warni dengan corak ornamen kembang-kembang. Pembangunan masjid ini atas biaya dan dana dari H. Prawiro Suwarno atau Tembong dari Kotagede.
 
Tahun 1976 M, mustoko dalam bentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka, diganti dengan mustoko dalam bentuk bawangan yang dibuat dari aluminium dengan ukuran yang lebih besar. Pada tahun 1986 M, masjid mendapat bantuan dari Presiden RI sejumlah Rp. 25.000.000,- Karena kondisi masjid sudah banyak yang rusak, utamanya kayu penyangga yang lapuk karena terkena tetesan air hujan, maka bangunan masjid atas izin tertulis dari Keraton, atau istilahnya dapat palilah dalem, bangunan masjid dibongkar dan diperluas. Bantuan ini langsung diambil kepada Zahid Husain oleh Kyai Makmun, dengan didherekke Moh. Da'in Santoso, Drs. Munawir dan Moh Wasul Baii.
 
Secara total, masjid dibangun dengan konstruksi beton bertulang, dengan rancangan gambar yang dibuat dan dirancang oleh insinyur bangunan, dengan tidak meninggalkan arsitektur masjid corak Jawa Yogyakarta. Hal ini juga memenuhi dhawuh dalem agar jangan meninggalkan corak kejawennya, yang tertuang dalam surat palilah dalem. Termasuk dalam pemilihan warna catnya antara komposisi hijau, kuning dan merah serta kuning emas (prodo) karena warna-warna ini mengandung nilai filosofis yang dalam. Ada catatan menarik, pada saat itu masyarakat ingin membuat menara dari konstruksi beton. Tapi rencana itu tidak terealisir karena keraton tidak mengizinkan karena corak masjid Yogyakarta tidak ada menaranya.
 
Pada tahun 2003 M, masjid ini mendapat bantuan pengembangan dari Dinas Pariwisata Yogyakarta. Kemudian dbangun gedung pertemuan yang terletak di utara serambi masjid. Kulah dibikin simetris antara kulah di sebelah utara serambi masjid dan di sebelah selatan serambi masjid. Ada penambahan bangunan kanopi (kuncungan) dan dihidupkannya kolam di depan di sisi kiri dan kanan serambi masjid. Juga penyempurnaan dapur untuk memasak air pada saat dilaksanakan hari-hari besar Islam di masjid taqwa.

Nama Masjid Taqwa
Sejak masjid ini didirikan oleh Kyai Muhammad Fakih, masjid ini tidak ada namanya. Saat itu, masyarakat mengenalnya dengan sebutan masjid Wonokromo. Pada saat kepengurusan masjid dipegang oleh Kyai Makmun, masjid diberi nama Masjid Taqwa, bukan Masjid at-Taqwa.
Ada argumen yang diberikan Kyai Makmun kenapa masjid ini diberi nama masjid Taqwa dan bukan Masjis at-Taqwa. Kata taqwa adalah bentuk isim nakiroh, yang mengandung pengertian umum untuk siapa saja. Siapa saja dari tingkatan kyai sampai dengan tingkat orang awam sekalipun boleh beribadah di masjid ini, tak ada bedanya dengan siapa pun. Termasuk yang boleh masuk ke masjid ini tidak hanya warga Wonokromo, tapi juga warga lainnya. Lain dengan kata at-Taqwa dalam bentuk isim ma'rifah, yang mengandung pengertian khusus, bahwa yang boleh masuk masjid hanya para kyai saja. Atau masjid ini hanya khusus untuk warga Wonokromo saja.
Pemberian nama ini dilakukan secara resmi dengan membuka selubung papan nama yang lakukan oleh Kyi Makmun, selubung papan nama Masjid Taqwa pada saat itu digantung di kanopi (kuncungan) di serambi masjid.

Kelengkapan Masjid

Pada zaman dulu, di depan masjid dibangun tempat wudhu. Airnya diambil dari sungai Belik yang dialirkan melalui parit. Fungsi kolam selain untuk berwudhu juga berfungsi unuk menghukum orang yang salah dalam memukul kenthongan dan bedhuk, dengan diceburkan di dalam kolam.

Untuk tanda waktu masuk sholat, selain adzan, dibuat kenthongan dan bedhuk. Suara dan irama bedhuk di hari-hari biasa lain dengan saat tanda masuk sholat 'ashar di hari Kamis. Suara irama bedhuk disebut dengan sarwo lemah, 'asar dowo malem jemuah. Kalau saat masuknya waktu 'ashar di hari Kamis, bedhuk itu dipukul dengan nada dan irama yang khas dan panjang (dowo). Maka apabila suara bedhuk dipukul panjang menandakan bahwa nanti malam adalah malam Jum'ah. Apalagi saat-saat menjelang pelaksanaan sholat Jum'ah, setengah jam sebelumnya bedhuk ditabuh bertalu-talu. Di akhir pemukulan bedhuk disela-selai pemukulan kenthongan. Ini menandakan bahwa pelaksanaan ibadah Jum'ah sudah akan dimulai.

Tahun 1973 M, seorang warga Wonokromo, Muhammad Asnawi Muslikh, menyumbangkan seperangkat alat pengeras suara yang digerakkan dengan accu 12 volt untuk mengumandangkan adzan. Maka pada tahun inilah ada tonggak sejarah masjid adzan dikumandangkan dengan pengeras suara. Pada saat itu, peristiwa ini menjadi sangat surprise, karena saat itu inilah satu-satunya masjid kidul negoro sing nganggo pengeras.
Peran Masjid Taqwa dari Waktu ke Waktu
Pada zaman penjajahan Belanda, masjid ini untuk jama'ah sembahyang Jum'at bagi penduduk Wonokromo dan dari desa-desa sekitarnya, karena masjid merupakan masjid tertua di wilayah Kecamatan Pleret dan sekitarnya. Masjid ini juga dikelilingi pondok-pondok pesantren, yang santrinya berasal dari berbagai daerah antara lain seperti dari Cirebon. Bahkan ada yang berasal dari Singapura. Daerah ini dahulu merupakan kota kecil di pedesaan dan sangat ramai dikunjungi orang untuk mendapatkan pelajaran agama, bahkan sampai sekarang masih merupakan pusat-pusat pengajian.

Di masa revolusi fisik, masjid Wonokromo disamping untuk sholat jama'ah para gerilyawan RI juga sebagai tempat koordinasi untuk menggempur Belanda yang berkedudukan di Pleret. Daerah ini merupakan basis kekuatan militer dan pejuang serta kekuatan masyarakat dalam ketahanan berjuang melawan Belanda yang bermarkas di Pleret maupun di Bantul, serta penjaga kekuatan Belanda dari Kota Kraton.
Secara khusus, masjid ini juga menjadi tempat kekuatan militer Compi III Batalion I Brigade 10 yang saat itu dipimpin Letda Komarudin. Di makam yang terlatak di sebelah barat masjid juga terdapat beberapa orang pahlawan yang disemayamkan di sana dan hingga sekarang selalu diziarahi banyak orang pada bulan Agustus untuk mengenang jasa-jasanya.
Pada zaman pembangunan, serambi Masjid Taqwa Wonokromo digunakan untuk pengajian-pengajian dalam mempersiapkan mental Ketaqwaan kepada Allah SWT, memperdalam taukhid, keimanan dan keislaman serta akhlak yang diarahkan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun pesertanya meliputi banyak orang antara lain : dari wilayah Kecamatan Pleret, Piyungan, Banguntapan dan Jetis, bahkan ada yang dari wilayah Kecamatan Bambanglipuro dan Dlingo.
Upaya Pemakmuran Masjid
Pada awal berdirinya, belum dikenal istilah takmir masjid untuk mereka yang mengurusi kemasjidan. Urusan masjid mutlak berada di tangan otoritas Kyai, baik untuk urusan fisik masjid maupun urusan peribadatannya. Hal ini berjalan sampai tahun 1913 M, sebab pada tahun 1913 M, bagi orang-orang yang mengurus segala urusan masjid baik fisik maupun peribadatan disebut dengan istilah khodimul ummah.

Selain itu, sudah ada pengorganisasian tentang perangkat masjid. Misalnya khotib disebut abdidalem kaji selosin. Muadzin disebut abdidalem muadzin. Masing-masing muadzin sudah memiliki tugas masing-masing. Yang istimewa, pada saat sholat Jum'at, pelaksanaan adzan dilakukan dua kali. Adzan pertama dilakukan sebagai tanda saat masuknya waktu sholat dhuhur (masuk waktu sholat Jum'at). Pada saat adzan pertama, baik petugas untuk adzan subuh, dzuhur, 'asar, maghrib, isya' berjajar-jajar di depan mimbar, mengumandangkan adzan bersama-sama.
Hal ini dimaksudkan supaya ada keadilan, bersatu dan bertemunya para muadzin dari masing-masing waktu, maka di sini dikenal dengan istilah adzan limo. Adapun orang-orang yang mengurus urusan fisik masjid dari menyapu lantai hingga menggelar tikar untuk sholat dan mengisi air wudhu disebut dengan abdidalem merbot. Semua yang mengurus fisik masjid ini mendapat Surat Keputusan (SK) dari Kraton Ngayogyokarto yang disebut dengan Serat Kekancingan.
Organisasi bagi orang-orang yang mengurusi urusan kemasjidan yang disebut khodimul ummah ini berjalan dari tahun 1913 M sampai tahun 1969 M. Pada tahun 1969 M, pola kepengurusan masjid diganti dengan sistem imamah. Segala sesuatu yang menyangkut urusan masjid secara mutlak keputusannya di tangan imam. Pada periode itu imamnya adalah Kyai Makmun. Periode ini berjalan dari tahun 1969 M sampai tahun 1990 M. Makmun meninggal tanggal 2 Mei 1990 M. Sepeninggal Kyai Makmun pola kepengurusan masjid diganti dengan takmir masjid sampai sekarang.

Kepengurusan masjid Taqwa ini dimulai oleh Kyai Muhammad Fakih (1755 M 1763 M), Kyai Abdullah (1763 1808 M), Kyai Ibrahim (1708 1863 M), Kyai Muhammad Fakih II (1863 1913 M), Kyai Moh Dahlan atau K.R.T. H. Badaruningrat (1913 1953 M), Kyai Dimyati (1953 1969 M), Kyai Makmun (1969 1990 M), Kyai Moh Syifak (1990 1994 M), R. Zaenuri Isma'il (1994 1997 M), Drs. Muhammad Wakhid (1997 2000 M), Kyai Isma'il (2000 2003 M), Kyai Ismail (2003 M 2006 M), dan Kyai Ismail (2006 sekarang [2007]).
Selain berfungsi untuk kegiatan jamaah sholat lima waktu dan sholat Jum'ah, ada beberapa fungsi masjid Taqwa yang istimewa bagi masyarakat Wonokromo, antara lain untuk kegiatan jamaah sholat tarawih. Kegiatan sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu, masjid ini juga digunakan untuk pengumpulan zakat fitrah dan mal bagi warga masyarakat Wonokromo dan sebagai tempat untuk saling memaafkan setelah puasa sunat Syawal dengan sitilah bodho kupatan.

Untuk pengumpulan ternak kurban, penyembelihan serta penyalurannya bagi warga Wonokromo dupusatkan di masjid ini. Tiap tanggal 6 dan 7 Syawal diadakan majlis sima'atul qur'an sekaligus dalam upaya menumpulkan balung pisah karena yang disemak atau para hufadz-nya adalah warga keturunan (trah) Wonokromo.
Masjid ini juga digunakan sebagai tempat untuk memberangkatkan dan menerima kedatangan Jam'ah haji warga Wonokromo. Selain itu juga untuk kegiatan akad nikah bagi warga Wonokromo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MASJID AL-JABBAR KOTA BANDUNG - JAWA BARAT

Masjid Raya Al Jabbar terletak di kecamatan Gedebage kota Bandung berjarak sekitar 2 km tenggara Stasiun Gedebage Bandung. Masjid iini mulai...