Kamis, 16 November 2023

MASJID CHENG HOO SEMPUSARI KABUPATEN JEMBER - JAWA TIMUR

Masjid Muhammamd Cheng Hoo Jember terletak di Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember sekitar 5 km sebelah barat Alun-alun Jember. Lokasinya berada tepat di belakang Kantor Kelurahan Sempusari. Pembangunan masjid Cheng Hoo dilakukan pada tahun 2011, yakni ditandai dengan peletakan batu pertama. Proses pembangunan masjid ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat tahun. Masjid Cheng Ho baru diresmikan pada 2015. Sekarang, tempat ini selalu dikunjungi oleh masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, belajar Alquran, shalat berjemaah dan lainnya.


JEMBER, KOMPAS.com – Para Muslim Tionghoa di Jember memiliki wadah tersendiri untuk belajar agama Islam. Mereka tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jember. Kegiatan mereka terpusat di Masjid Muhammad Chengho Jember . Di sana, mereka rutin menggelar pengajian, belajar membaca Al Quran, shalat subuh berjemaah hingga menggelar kegiatan bakti sosial. Bahkan, saat hari raya Imlek, mereka memiliki cara tersendiri untuk merayakannya, seperti khataman Al Quran hingga pertunjukan barongsai. Baca juga: Warga Tionghoa Berikan Paket Ramadhan untuk 2.140 Kaum Duafa di Aceh Lokasi Masjid Chengho terletak di Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kaliwates. Mendatangi masjid ini, pengunjung disajikan dengan gaya bangunan dengan arsitektur khas Tionghoa, seperti warna masjid yang didominasi merah. Selain itu, juga ada hiasan lampion, kaligrafi, papan tulisan tionghoa serta atap yang melengkung. Masjid ini kerap menjadi tempat swafoto generasi milenial yang melaksanakan ibadah disana. HM. Lauw Song Tjai, Pembina Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jember menjelaskan cikal bakal berdirinya Masjid Cheng Ho tersebut. “Sebelum terbentuk organisasi, teman-teman Muslim Tionghoa berpindah-pindah kegiatannya,” kata dia pada Kompas.com Minggu (2/5/2021). Baca juga: Mengenal Kampung Kapitan, Tempat Keturunan Tionghoa Pertama di Palembang Menurut dia, organisasi PITI baru berdiri sekitar 1980-an. Saat itu, kegiatannya hanya sebatas berkunjung ke sesama Muslim Tionghoa dari rumah ke rumah, seperti pada saat perayaan Idul Fitri. Seiring perkembangan zaman, anggota PITI Jember tersebut bertambah. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai ratusan. Mereka butuh wadah tempat berkumpul, terutama dalam belajar dan meningkatkan pemahaman ilmu agama Islam. Akhirnya, salah satu sahabat Song Tjai di Surabaya, yakni Liu Ming Yen atau Bambang Suyanto, memintanya untuk mendirikan mendirikan masjid. “Saat itulah, saya meminta sumbangan dana pada pengusaha, di Jakarta, Semarang, Kudus hingga Samarinda,” ucapnya. Baca juga: Asal Usul Pulau Kemaro, Kisah Legenda Cinta Siti Fatimah dengan Putra Raja Tionghoa Pembangunan masjid Cheng Ho dilakukan pada 2011, yakni ditandai dengan peletakan batu pertama. Proses pembangunan masjid ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat tahun. Masjid Cheng Ho baru diresmikan pada 2015. Sekarang, tempat ini selalu dikunjungi oleh masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, belajar alquran, shalat berjemaah dan lainnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Masjid Cheng Ho Jember, Wadah Muslim Tionghoa Belajar Agama", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/05/02/153041178/mengenal-masjid-cheng-ho-jember-wadah-muslim-tionghoa-belajar-agama?page=all.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Lokasi Masjid Chengho terletak di Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kaliwates. Mendatangi masjid ini, pengunjung disajikan dengan gaya bangunan dengan arsitektur khas Tionghoa, seperti warna masjid yang didominasi merah. Selain itu, juga ada hiasan lampion, kaligrafi, papan tulisan tionghoa serta atap yang melengkung. Masjid ini kerap menjadi tempat swafoto generasi milenial yang melaksanakan ibadah disana. HM. Lauw Song Tjai, Pembina Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jember menjelaskan cikal bakal berdirinya Masjid Cheng Ho tersebut. “Sebelum terbentuk organisasi, teman-teman Muslim Tionghoa berpindah-pindah kegiatannya,” kata dia pada Kompas.com Minggu (2/5/2021). Baca juga: Mengenal Kampung Kapitan, Tempat Keturunan Tionghoa Pertama di Palembang Menurut dia, organisasi PITI baru berdiri sekitar 1980-an. Saat itu, kegiatannya hanya sebatas berkunjung ke sesama Muslim Tionghoa dari rumah ke rumah, seperti pada saat perayaan Idul Fitri. Seiring perkembangan zaman, anggota PITI Jember tersebut bertambah. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai ratusan. Mereka butuh wadah tempat berkumpul, terutama dalam belajar dan meningkatkan pemahaman ilmu agama Islam. Akhirnya, salah satu sahabat Song Tjai di Surabaya, yakni Liu Ming Yen atau Bambang Suyanto, memintanya untuk mendirikan mendirikan masjid. “Saat itulah, saya meminta sumbangan dana pada pengusaha, di Jakarta, Semarang, Kudus hingga Samarinda,” ucapnya. Baca juga: Asal Usul Pulau Kemaro, Kisah Legenda Cinta Siti Fatimah dengan Putra Raja Tionghoa Pembangunan masjid Cheng Ho dilakukan pada 2011, yakni ditandai dengan peletakan batu pertama. Proses pembangunan masjid ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat tahun. Masjid Cheng Ho baru diresmikan pada 2015. Sekarang, tempat ini selalu dikunjungi oleh masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, belajar alquran, shalat berjemaah dan lainnya. Menjadi simbol keberagaman dan toleransi warga Jember Kehadiran Masjid Cheng Ho menjadi simbol kerukunan umat beragama di Jember. Warga bisa saling menghormati meskipun memiliki keyakinan dan budaya yang berbeda.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Masjid Cheng Ho Jember, Wadah Muslim Tionghoa Belajar Agama", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/05/02/153041178/mengenal-masjid-cheng-ho-jember-wadah-muslim-tionghoa-belajar-agama?page=all.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Lokasi Masjid Chengho terletak di Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kaliwates. Mendatangi masjid ini, pengunjung disajikan dengan gaya bangunan dengan arsitektur khas Tionghoa, seperti warna masjid yang didominasi merah. Selain itu, juga ada hiasan lampion, kaligrafi, papan tulisan tionghoa serta atap yang melengkung. Masjid ini kerap menjadi tempat swafoto generasi milenial yang melaksanakan ibadah disana. HM. Lauw Song Tjai, Pembina Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jember menjelaskan cikal bakal berdirinya Masjid Cheng Ho tersebut. “Sebelum terbentuk organisasi, teman-teman Muslim Tionghoa berpindah-pindah kegiatannya,” kata dia pada Kompas.com Minggu (2/5/2021). Baca juga: Mengenal Kampung Kapitan, Tempat Keturunan Tionghoa Pertama di Palembang Menurut dia, organisasi PITI baru berdiri sekitar 1980-an. Saat itu, kegiatannya hanya sebatas berkunjung ke sesama Muslim Tionghoa dari rumah ke rumah, seperti pada saat perayaan Idul Fitri. Seiring perkembangan zaman, anggota PITI Jember tersebut bertambah. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai ratusan. Mereka butuh wadah tempat berkumpul, terutama dalam belajar dan meningkatkan pemahaman ilmu agama Islam. Akhirnya, salah satu sahabat Song Tjai di Surabaya, yakni Liu Ming Yen atau Bambang Suyanto, memintanya untuk mendirikan mendirikan masjid. “Saat itulah, saya meminta sumbangan dana pada pengusaha, di Jakarta, Semarang, Kudus hingga Samarinda,” ucapnya. Baca juga: Asal Usul Pulau Kemaro, Kisah Legenda Cinta Siti Fatimah dengan Putra Raja Tionghoa Pembangunan masjid Cheng Ho dilakukan pada 2011, yakni ditandai dengan peletakan batu pertama. Proses pembangunan masjid ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar empat tahun. Masjid Cheng Ho baru diresmikan pada 2015. Sekarang, tempat ini selalu dikunjungi oleh masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari pengajian, belajar alquran, shalat berjemaah dan lainnya. Menjadi simbol keberagaman dan toleransi warga Jember Kehadiran Masjid Cheng Ho menjadi simbol kerukunan umat beragama di Jember. Warga bisa saling menghormati meskipun memiliki keyakinan dan budaya yang berbeda.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Masjid Cheng Ho Jember, Wadah Muslim Tionghoa Belajar Agama", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/05/02/153041178/mengenal-masjid-cheng-ho-jember-wadah-muslim-tionghoa-belajar-agama?page=all.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Rabu, 15 November 2023

PANTAI NGUYAHAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL - D.I. YOGYAKARTA

Pantai Nguyahan terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Tepatnya di sebelah barat Pantai Ngobaran. Dari pusat Kota Yogyakarta kita bisa menuju ke arah Piyungan, lalu kemudian terus berjalan hingga sampai ke Playen, Paliyan, Pasar Trowono, Kanigoro, lalu ikuti petunjuk ke arah pantai Ngobaran. Pantai Nguyahan terletak di sebelah Pantai Ngobaran.

 

Akses menuju Pantai Nguyahan cukup mudah, bisa dilalui kendaarn roda dua maupun roda empat. Pantai ini memang belum lama dikembangkan sebagai destinasi wisata baru jadi wajar jika anda masih belum familiar dengan namanya. Namun pembangunan di sini sangat pesat. Fasilitas yang disediakan sudah cukup lengkap. Area parkir yang luas, toilet umum, mushola, dan tentunya deretan kios pedagang.

Lokasi Pantai Nguyahan dan Pantai Ngobaran sangat dekat. Hanya berjarak sekitar 200 meter saja. Pengunjung diberi pilihan untuk parkir di kawasan Pantai Ngobaran atau di Pantai Nguyahan. Walaupun berdekatan dengan Pantai Ngobaran, tetapi Pantai Nguyahan memiliki pesonanya tersendiri sehingga sangat sayang jika anda melewatkan pantai ini ketika berlibur di Gunungkidul.


 Salah satu keunggulan dari pantai ini adalah pantainya yang landai dan masih bersih. Belum banyaknya wisatawan yang datang membuat Pantai Nguyahan seperti surga yang masih tersembunyi keindahannya. Pengelola pantai juga nampaknya sangat menyadari betul pentingnya menjaga kebersihan lingkungan pantai terlihat dari tong-tong sampah yang disediakan.

Asal usul nama Nguyahan tentu bukan tanpa alasan. Dahulu kata ketika Belanda masih menjajah Indonesia kawasan Pantai Nguyahan ini memang dikenal sebagai kawasan penghasil garam. Itulah sebabnya Pantai ini disebut dengan Pantai Nguyahan yang berasal dari kata “uyah” yang dalam Bahasa Indonesia berarti garam.


 Di obyek wisata pantai satu ini pengunjung bisa berenang dan bermain pasir di pantai. Pantai ini memiliki karang-karang indah yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan kecil beraneka warna. Mengamati binatang laut yang lucu menjadi aktivitas menyenangkan yang boleh anda coba di sini. Apalagi kawasan ini masih sepi wisatawan jadi suasananya masih asri dan belum banyak terkena campur tangan manusia. Hal menarik lain di Pantai Nguyahan adalah rumput lautnya. Biasanya rumput laut ini dipanen warga dan dijadikan sebagai olahan hasil laut yang cocok untuk dijadikan oleh-oleh. Soal rasa tentu rumput laut di sini bisa diadu dengan rumput laut di pantai-pantai terkenal lain.

Keindahan Pantai Nguyahan yang tak kalah dari pantai lainnya adalah sunsetnya, Langit Pantai Nguyahan perlahan akan berubah menjadi oranye kemerahan membuat siapapun yang melihatnya takjub. Di pantai ini anda akan merasakan suasana senja yang sangat tenang dan teduh karena belum banyaknya wisatawan yang datang. Tentu momen seperti ini sangat jarang anda jumpai di pantai lain bukan? Lantai karang menjadi salah satu spot terbaik untuk menikmati senja di Pantai Nguyahan. Pastikan bawa kamera anda karena keindahan sunsetnya terlalu sayang untuk tidak diabadikan.

MASJID SULTHONI WOTGALEH KABUPATEN SLEMAN - D.I. YOGYAKARTA

Masjid Sulthoni Wotgaleh merupakan masjid milik Kraton Yogyakarta terletak di Padukuhan Wotgaleh, Noyokerten, Kalurahan Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman sekitar 8 km timur pusat kota Yogyakarta. Masjid Suthoni Wotgaleh merupakan Bangunan Cagar Budaya oleh Bupati Kabupaten Sleman. Masjid Sulthoni Wotgaleh dibangun sekitar tahun 1600 Masehi, seiring dengan keberadaan makam Hastono Wotgaleh, yaitu makam Panembahan Purubaya I, yang lebih terkenal dengan sebutan Banteng Mataram, karena keberaniaan dan ketangguhan dalam berperang dan pernah menyerbu Batavia. Selain makam Panembahan Purubaya I, juga dimakamkan Panembahan Purubaya II, Panembahan Purubaya III.  Wotgaleh berasal dari kata wot yang berarti jembatan, menyeberangi atau meniti, dan galeh atau galih berarti hati, sehingga wotgaleh berarti tempat bagi orang-orang yang ingin menguatkan hatai dalam mencapai kesabaran lahir dan batin.


 Masjid Sulthoni Wotgaleh selain berfungsi untuk keagamaan (Islam) juga berfungsi sebagai tempat pertahanan rakyat. Pada waktu didirikan bangunan makam dan masjid, berada di tengah-tengah pemukiman warga. Namun pada masa penjajahan Jepang diadakan pelebaran wilayah bandara, sehingga rumah-rumah penduduk dipindahkan ke tempat lain. Sekeliling masjid-makam sekarang merupakan tanah TNI AU yang ditanami tebu.


 Masjid Sulthoni Wotgaleh merupakan masjid yang berada dalam satu komplek dengan makam yang disebut Hastono Wotgaleh, yaitu makam Panembahan Puruboyo I (putra Panembahan Senopati dari Mataram Islam). Seperti umumnya bangunan masjid di Jawa menggunakan atap berbentuk Tajug. Dari ciri-ciri yang ada merupakan tipe Tajug Lawakan Lambang Teplok, yaitu bangunan dengan atap tajug di bagian tengah dan mempunyai atap pananggap di keempat sisinya. Bagian atas atap pananggap terdapat blandar lumajang yang menempel pada sunduk-kili pamidhangan atau sakaguru. Di samping kiri dan kanan ruang utama masjid terdapat ruang yang disebut Pawestren(untuk sholat perempuan) dan ruangan untuk takmir masjid. Di bagian depan terdapat serambi berbentuk Limasan dengan tiang atau saka utama berjumalah 8 (delapan) buah, di bagian luarnya terdapat atap emper. Di serambi masih ada bedug lama, sebagai sumber bunyi untuk menandakan waktu sholat sebelum adanya pengeras suara.

Minggu, 12 November 2023

CANDI NGAWEN KABUPATEN MAGELANG - JAWA TENGAH

Candhi ini berada di desa Ngawen kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang sekitar 5 km ke arah tenggara dari candi Mendut sebelah kiri jalan ke rute Sendangsono. Candi ini dibangun pada abad ke 8 oleh dinasti Syailendra seperti dalam Prasasti Karang Tengah tahun 824 M.

 Candi Ngawen memiliki 5 buah candi kecil yang setiap sudutnya dihiasi oleh patung singa penjaga candi dan wihara Pangeran Sidharta menunggu nirwana. Relief candi Ngawen masih jelas terukir indah tentang Kinara-Kinari ( sang penghibur Dewa di Kahyangan ), Kalamakara ( Dewa Waktu )  dan D hyani Budha Ratnasambhawa dengan sikap tangan Wara Mudra ( Budha memberi berkah).

 

Kamis, 02 November 2023

CANDI IJO KABUPATEN SLEMAN - D.I. YOGYAKARTA

Candi Ijo terletak di kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman Yogyakarta, sekitar 20 km sebelah timur kota Yogyakarta. Candi ini dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Candi Ijo ini merupakan candi yang tertinggi di DIY dari atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.


 Kompleks candi Ijo terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras kesatu sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.

Tepat di atas pintu masuk candi Ijo  terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.


 Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.


 Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.


 Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.

ALUN-ALUN KABUPATEN TULUNGAGUNG - JAWA TIMUR

Alun-alun Kabupaten Tulungagung, atau yang dikenal dengan sebutan “Taman Aloon-aloon" merupakan ikon dari Kabupaten Tulungagung. Taman...