Letak masjid ini sekitar sembilan kilometer arah utara dari Kraton Yogyakarta. Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning didirikan di atas tanah kasultanan seluas 2.500 meter persegi. Bangunan masjid pada saat didirikan seluas 288 m2 dan setelah pengembangan menjadi 328 m2. Di antara kelima masjid Pathok Negara milik Kraton Yogyakarta, Masjid Pathok Negara "Sulthoni" di Plosokuning adalah bangunan yang paling terjaga kelestariannya.
Masjid Pathok Negoro didirikan setelah pembangunan Masjid Agung Yogyakarta, sehingga bentuk masjid tersebut meniru masjid Agung sebagai salah satu usaha legitimasi masjid milik KasultananYogyakarta. Persamaan ini juga didukung oleh beberapa komponen yang ada di dalamnya seperti mihrob, kentongan dan beduk.
Masjid Pathok Negoro mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota masjid juga mempunyai kesamaan yakni terbuat dari tanah liat dan atap masjid terbuat dari sirap. Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa masjid pathok negoro lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan masjid Agung Yogyakarta yang mempunyai atap tajuk bertumpang tiga. Ciri-ciri lain dari kekhasan masjid Pathok Negoro ini adalah pada masing-masing masjid terdapat kolam keliling, pohon sawo kecik dan terdapat mimbar yang ada di dalam masjid.
Dalam perkembangan saat ini, arsitektur tradisional telah banyak mengalami perubahan dan salah satu penyebab semua itu adalah masuknya arsitektur modern di Indonesia. Hal di atas juga berpengaruh terhadap Masjid Pathok Negoro yang ada. Dari kelima masjid yang ada, hanya Masjid Pathok Negoro di Plosokuning saja yang sampai saat ini masih mempertahankan bentuk aslinya.
Keaslian Masjid pathok Negoro Plosokuning dapat terlihat pada bagian atap dimana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak atap masjid. Dulu, penutup atap masjid menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun 1946.
Pada bagian lantai masjid dahulu diplester biasa dengan menggunakan semen merah, kemudian pada tahun 1976 lantai masjid ini diganti dengan tegel biasa. Begitu juga dengan daun pintu dan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dulu tembok dinding masjid setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1 batu. Dahulu pintu masjid hanya ada satu dan sangat rendah yang menyebabkan ruang masjid menjadi gelap. Pintu yang rendah ini dimaksudkan agar setiap orang yang masuk masjid hendaknya menunduk dan menunjukkan rasa tatakrama serta sopan santun terhadap masjid. Keadaan demikian menyebabkan ruangan di dalam masjid menjadi gelap, sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu masuk masjid menjadi 3 bagian serta ditambah jendela di ruang dalam masjid.
Semua penambahan dan perbaikan bangunan pada masjid, terlebih dahulu dimintakan persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di kraton, baik mengenai bentuk dan modelnya. Beberapa tahun terakhir, takmir masjid mengadakan perbaikan dan penambahan ruang yang ada di samping kanan dan kiri masjid. Hal ini bertujuan agar kegiatan pengajian dan tadarus dapat berlangsung nyaman sekaligus untuk menambah shaf putri. Pada ruang dalam masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penahan konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian besar masih asli dan terbuat dari kayu jati.
Di depan masjid terdapat dua kolam dengan kedalaman 3 meter. Setiap orang yang akan memasuki masjid harus bersuci terlebih dahulu di kolam itu. Makna lain dari 2 kolam ini adalah apabila kita menuntut ilmu haruslah sedalam-dalamnya. Saat ini kolam tersebut juga digunakan untuk memelihara ikan serta untuk mencuci kaki sebelum masuk ke mesjid.
Di dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan. Masjid ini juga masih menganut adat lama dimana adzan pada saat sholat Jum'at dilakukan 2 kali. Dahulu sekitar tahun 1950 adzan pertama dilakukan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang dari mereka. Begitu juga dengan khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Baru pada tahun 1960 adat tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2 orang, tetapi adzan tetap dilakukan 2 kali. Khotbah juga diganti dengan menggunakan bahasa Jawa. Pada bagian pintu gerbang, masjid ini memiliki pintu gerbang yang berundak. Pada tiga undakan pertama berarti Islam itu terdiri dari 3 elemen yakni Iman, Islam dan ikhsan. Pada 5 undakan kedua menunjukkan bahwa rukun Islam itu ada 5 sedangkan pada 6 undakan ketiga menunjukkan bahwa rukun iman itu ada 6.
Tahun 2000 Masjid Plosokuning mengalami renovasi pada 4 tiang utama dan beberapa elemen lainnya. Pada tahun 2001, masjid ini kembali mengalami renovasi pada bagian serambi dan tempat wudhu. Renovasi ini dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Pada tahun tersebut masyarakat secara swadaya juga mengganti lantai tegel masjid dengan keramik, memasang konblok di halaman serta mendirikan menara pengeras suara.
Pada momen-momen tertentu, di masjid ini juga dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga kraton, semisal tradisi Bukhorenan. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari tradisi keraton yang lestari hingga sekarang. Maksud dan tujuannya tidak lain adalah untuk mengkaji ajaran dan tuntunan Nabi dengan membaca dan memahami hadist-hadist yang terdapat dalam Sahih Bukhari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar