Situs Keraton Ambarketawang terletak di Dusun Tlogo, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kurang lebih 5 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta. Situs ini oleh penduduk setempat sering dinamai dengan beberapa nama yaitu: (1) Keraton Ambarketawang, (2) Pesanggrahan Ambarketawang, (3) Petilasan Ambarketawang, (4) Beteng Ambarketawang, (5) Keraton Pesanggrahan Ambarketawang, (6) Jagang Ambarketawang.
Pesanggrahan Ambarketawang pada saat ini tinggal menyisakan tembok batu bata, fondasi bangunan, saluran air (urung-urung), sumur kuna, tembok kademangan dan kestalan 'kandang kuda'. Sisa-sisa peninggalan tersebut berada di pekarangan milik Mulyasuganda. Luas pekarangan tersebut lebih kurang 1890 meter persegi.
Banyak ahli menduga bahwa situs Keraton Ambarketawang bukanlah situs bekas keraton seperti pengertian yang sekarang. Situs ini lebih mendekati bentuk benteng pertahanan. Dugaan ini diperkuat oleh bentuk bangunan, bahan bangunan dan diperkuat pula dengan adanya bukit gamping di sisi timur laut yang menjadikan bangunan keraton-benteng ini ini secara alami terlindung. Bukit kapur ini mengalami penggerogotan secara besar-besaran pada zaman pendudukan Jepang dan pada masih sangat produktifnya pabrik gula Madukisma. Kapur di bukit ini telah digunakan untuk proses pembuatan gula. Sedangkan pada zaman Jepang bukit kapur ini ditambang untuk keperlulan bahan bangunan.
Sri Sultan Hamengku Buwana I
Sultan Hamengku Buwana I adalah putra Sunan Amangkurat IV dengan Bendara Mas Ayu Tejawati. Sultan Hamengku Buwana I adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Bendara Raden Ayu Pringalaya dan adiknya bernama Bendara Raden Ayu Demang Urawan. Menurut Serat Kuntharatama, Sultan Hamengku Buwana I lahir pada tanggal 5 Agustus 1717, pada hari Rabu Pon. Nama kecil Sultan Hamengku Buwana I adalah Bendara Raden Mas Sujana dan setelah dewasa bergelar Bendara Pangeran Harya Mangkubumi.
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II itulah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang dibantu oleh Tumenggung Martapura. Hal ini mengancam keselamatan Mataram. Oleh karenanya Sunan Paku Buwana II membuat sayembara yang isinya barangsiapa mampu menaklukkan pemberontak akan diberi hadiah tanah Sukawati. Pangeran Mangkubumi menyanggupi menumpas pemberontakan tersebut. Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan tersebut, tetapi Patih Pringgalaya iri atas hadiah yang akan diberikan oleh Sunan Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi. Persoalan ini akhirnya dilimpahkan oleh Sunan Paku Buwana II kepada Gubernur Jendral Van Imhoff. Mengetahui kejadian tersebut Pangeran Mangkubumi merasa kecewa. Oleh karenanya ia justru berbalik bergabung dengan Mas Said dan Martapura.
Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia. Sebelum meninggal Sunan Paku Buwana II menitipkan putra mahkota kepada Belanda dengan disertai surat wasiat (surat perjanjian). Pangeran Adipati Anom akhirnya diangkat menjadi Sunan Paku Buwana III oleh Belanda. Belanda kemudian membagi wilayah Mataram menurut cacah (keluarga). Pembagian wilayah Mataram ini dikuatkan dengan surat perjanjian di sebuah desa yang bernama Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.
Dalam perjanjian tersebut Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah seluas 87.050 cacah yang meliputi:
- sebagian Pajang, Mataram, Kedu, dan Bagelen
- Banyumas, Kediri, Ponorogo, Jogorogo (sebelah barat Madiun), Blora, dan Wirasaba (Surabaya)
Dalam Perjanjian Giyanti tersebut Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja di negeri Ngayogyakarta Adiningrat dan bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama.
Situs Ambarketawang
Situs Ambarketawang terletak sekitar 70 meter di sebelah selatan sisa Gunung Gamping. Peninggalan-peninggalan yang masih nampak pada keseluruhan kompleks situs tersebut di antaranya sisa benteng, sisa bangunan/rumah, dan sisa urung-urung (gorong-gorong).
Sisa benteng Keraton Ambarketawang yang masih kelihatan berdiri di atas tanah berupa tembok. Sebagian berada di sisi utara, barat, dan selatan. Tembok di sisi timur pada saat ini sudah tidak kelihatan lagi. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu bata dengan ukuran rata-rata 24 x 12 x 5 cm. Ketebalan tembok benteng rata-rata adalah 50 cm. Tinggi tembok benteng sekitar 3 meteran.
Menurut penduduk setempat tembok sisi utara dulunya mengikuti elevasi tanah yang berkaitan dengan bukit kapur di sebelah timurnya. Tembok sisi ini masih tampak dan digunakan sebagai dinding kompleks makam umum. Panjang tembok yang masih kelihatan di atas permukaan tanah adalah 12 meter.
Tembok benteng di sebelah barat masih dapat dikenali secara baik. Tembok sisi barat ini memiliki panjang 57,61 meter. Pada dinding di sebelah barat ini terdapat relief sayap burung yang hanya tinggal sebelah saja. Menurut penduduk setempat bagian tengah dari relief tersebut dulunya bergambar gunungan. Di bawah relief terdapat sebuah batu dengan tulisan berbunyi "Ki Dipo momong putra" yang diduga sebagai kronogram. Ki (Kyai) melambangkan pendeta/pertapa bernilai 7, dipa berarti pulau dan mempunyai nilai 1. Dipa dapat juga diartikan sebagai dipangga 'gajah' dan bernilai 8. Momong 'mengasuh' bernilai 6 dan putra bernilai 1. Dengan demikian, dapat dibaca 1617 (1693 M) atau 1687 (1716 M). Pada sekarang tulisan tersebut tidak nampak lagi.
Tembok benteng di sisi selatan yang sekarang masih tampak panjangnya sekitar 20,20 meter dan ketebalan 0,50 meter, dan tinggi 2,70 meter. Menurut penduduk setempat di tengah ini dulu ada regol. Akan tetapi regol tersebut sekarang sudah tidak tampak. Pada penggalian arkeologi pada tahun 1980 ditemukan fondasi regol tersebut dengan ukuran 6 x 4 cm (berbentuk persegi panjang).
Tembok benteng pada sisi timur seluruhnya dapat dikatakan sudah hancur (tidak kelihatan). Sedangkan fondasinya terpendam di dalam tanah. Dari penggalian arkeologis dapat diketahui bahwa panjang fondasi pada sisi timur ini membentuk formasi arah utara-selatan dengan panjang 40-an meter.
Dari penggalian itu pula diketahui bahwa dinding sisi timur ini membelok ke arah barat sekitar 5 meteran kemudian lurus lagi ke arah barat laut sepanjang 9 meter. Dari sini dinding membentuk formasi lurus lagi ke arah barat dengan ukuran panjang sekitar 20 meter. Tembok ini kemudian bertemu dengan tembok benteng di sisi sebelah barat yang membentuk formasi lurus arah utara-selatan. Pada bekas tembok yang mengarah ke barat laut-barat ini sekarang telah dibangun tembok baru dengan menggunakan bahan batako. Ketinggian tembok baru ini 140 cm.
Urung-urung/Gorong-gorong
Pada kompleks bekas Keraton Ambarketawang ditemukan juga urung-urung/gorong-gorong. Gorong-gorong yang tampak di atas permukaan tanah mempunyai panjang sekitar 12 meter dengan lebar 1,5 meter dan ketinggian sekitar 40 cm. Penampang urung-urung berbentuk huruf U yang terbalik. Lebar urung-urung sekitar 2 meteran (dihitung mulai dari sisi luar. Ketebalan urung-urung sekitar 1 meter dan ketinggian urung-urung juga 1 meteran. Dinding urung-urung terbuat dari batu yang dipasang melengkung dengan sistem rollaag.
Tidak pernah diketahui dengan pasti apa fungsi gorong-gorong ini. Paling tidak ada 3 spekulasi dari fungsi urung-urung ini yakni:
- sebagai saluran irigasi
- sebagai gudang senjata
- sebagai jalan darurat/rahasia untuk merlarikan diri dari serangan musuh.
Sisa Bangunan Keraton Ambarketawang
Di samping temuan-temuan di atas, dalam kompleks situs Keraton Ambarketawang ditemukan juga sisa bangunan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Ketiga sisa bangunan yang terbuat dari tembok itu ketinggiannya sudah tidak dapat diketahui lagi karena sudah hancur. Ukuran batu bata yang digunakan untuk membangun bangunan tersebut 24 x 12 x 5 cm.
Sisa Bangunan I merupakan sisa bangunan yang juga terbuat dari batu bata dan letaknya berada pada sisi paling barat (di sebelah barat bangunan pendapa yang baru). Sisa bangunan ini membentuk formasi membujur ke arah utara-selatan sepanjang 8 meteran. Sisa Bangunan I ini mempunyai sudut yang mengarah ke timur. Sudut tersebut mempunyai penampil yang mengarah ke luar.
Pada bagian tengah dari Sisa Bangunan I ini terdapat penampil dengan empat undakan 'tangga' ke bawah. Penampil ini terdapat di bagian utara dan selatan. Mata tangga undakan juga yang mengarah ke selatan dan utara. Mata undakan tersebut mempunyai ukuran panjang 60-90 cm, tinggi 10-18 cm, lebar 36-37 cm.
Sisa Bangunan II merupakan sisa bangunan yang juga tersusun dari batu bata yang memiliki panjang sekitar 6 meter dan lebar sekitar 1 meteran. Sisa Bangunan II ini terletak di sebelah utara Sisa Bangunan I. Sudut bangunan yang masih tampak pada Sisa Bangunan II ini adalah sudut yang terletak di barat daya dengan ukuran yang sama dengan sudut pada Sisa Bangunan I. Pada jarak sekitar dua meteran dari Sisa Bangunan II ini telah dibangun bangunan tertutup berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisinya sekitar 3,75 meter. Bangunan baru ini didirikan untuk keperluan bersamadi.
Sisa Bangunan III merupakan sisa susunan batu bata dengan panjang 15 meter membujur arah utara-selatan. Sisa Bangunan III ini membentuk formasi seperti huruf L dengan lebar sekitar satu meteran. Pada sepanjang Sisa Bangunan III ini terdapat sisa lantai tetapi bentuknya sudah tidak teratur. Luas sisa lantai ini kurang lebih 12 meter persegi.
Di samping sisa-sisa peninggalan tersebut juga ditemukan Kestalan dan Kademangan yang masing-masingnya terletak sekitar 100 meter dan 180 meter dari kompleks Keraton Ambarketawang.
Kestalan
Kestalan adalah istilah yang berasal dari istilah dalam bahasa Belanda, istal 'kandang kuda'. Peninggalan yang berupa kestalan ini terletak kurang lebih 100 meter arah selatan dari kompleks Keraton Ambarketawang. Peninggalan tersebut tinggal berupa tembok yang pada saat sekarang telah digunakan untuk dinding rumah salah seorang penduduk. Tembok tersebut mempunyai panjang 9 meteran. Lebar 4,25 meter, tebal 0,5 meter. Pada zaman dulu kestalan ini dilengkapi dengan pagar keliling dengan pintu masuk di sebelah barat.
Kademangan
Situs Kademangan terletak di sebelah barat daya kompleks Keraton Ambarketawang (kurang lebih 180 meter). Sisa peninggalan yang dapat ditemukan sekarang adalah sisa tembok yang telah digunakan untuk pagar rumah penduduk. Tembok yang berada di sebelah utara rumah memiliki panjang 23 meter. Sedang tembok yang berada di sebelah selatan rumah memiliki panjang 26,5 meter. Tebal tembok sekitar setengah meteran. Tinggi tembok di sisi selatan rumah adalah tiga meteran.
Sesuai dengan namanya, Kademangan ini dulunya merupakan rumah kediaman seorang demang. Konon demang tersebut ditugaskan untuk merawat petilasan Keraton Ambarketawang. Pada masa itu ada sebagian tembok Keraton Ambarketawang yag dibongkar untuk digunakan sebagai bahan bangunan rumah dari demang tersebut.
Tradisi Upacara Penyembelihan Bekakak
Upacara ini sering disebut juga upacara Saparan karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Sapar sekitar tanggal 10-20. Tanggal dan bulan tersebut diambil agar masanya sesuai dengan peredaran bulan saat purnama. Upacara Saparan dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada arwah Kiai Wirasuta (abdi terkasih Pangeran Mangkubumi) yang meninggal dunia karena tertimpa runtuhan batu gamping ketika ia sedang melakukan tugas penambangan batu gamping di Gunung Gamping. Di samping itu juga dimaksudkan sebagai wujud penghormatan kepada beberapa dhanyang seperti Gus Gombak, Gus Kuncung, Gus Kucir, Dara 'merpati' Gamping, dan Gus Besur
Upacara Penyembelihan Bekakak yang akan disembelih berjumlah dua pasang. Rangkaian sesaji yang berkaitan dengan upacara tersebut di antaranya: dua ekor ayam hidup, telur, cabe, tukon pasar (buah-buahan yang dibeli di pasar), benang (lawe), minyak kelapa (satu botol), dua butir kelapa muda, satu butir kelapa tua. Sesaji dan Bekakak ditempatkan dalam sebuah joli. Pada bagian depan dari joli ini diberi hiasan berupa sepasang kembar mayang dan dua batang tebu wulung lengkap dengan pucuknya. Di samping joli yang berisi dua pasang Bekakak dan perlengkapan sesaji tersebut masih ada lagi sebuah joli lain yang berisi rangkaian sesaji dengan jenis yang sama tetapi dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Urutan perarakan Bekakak ini adalah sebagai berikut.
- pertama, rombongan yang terdiri atas alim ulama yang bertugas mendoakan jalannya upacara agar semuanya selamat
- Bekakak dan perlengkapan sesajinya
- gunungan
- rombongan kesenian jatilan yang dikawal oleh sepasang gendruwo
- pengiring yang bersenjatakan tombak
- pembawa bende
- barisan prajurit keraton yang diperankan oleh para penduduk setempat.
Iring-iringan upacara penyembelihan Bekakak tersebut diberangkatkan dari Kalurahan Ambarketawang. Sesampai di Desa Delingsari sepasang Bekakak disembelih. Sedang sepasang Bekakak yang lain terus dibawa ke barat menuju tempat sisa Gunung Gamping. Pada sebelah utara sisa Gunung Gamping, pada sebuah panggung terbuka Bekakak tersebut disembelih. Darah Bekakak yang terbuat dari juruh 'cairan gula jawa' dipercik-percikkan ke batuan sisa Gunung Gamping. Perlengkapan lain yang berupa rangkaian sesaji dibawa ke pendapa yang didirikan di kompleks Keraton Ambarketawang. Bekakak yang tadi telah disembelih kemudian dipotong-potong dan disebarkan/diperebutkan kepada penonton. Demikian pula dengan perlengkapan yang berupa sesaji juga diperebutkan kepada penonton setelah semuanya selesai diupacarakan.
Menurut penuturan Bapak Sukirno, 69 tahun warga RT 03 RW 27, Dusun Tlaga, Kalurahan Gamping, Kecamatan Ambarketawang, Kabupaten Sleman, sepasang gendruwo yang mengiringi perarakan upacara Bekakak itu bernama Kiai Jasuta dan Kiai Irasuta. Konon nama Jasuta merupakan akronim dari puja 'yang dipuja' dan suta 'anak'. Artinya adalah anak yang selalu menang (di medan perang). Kiai Jasuta ini konon merupakan simbolisasi dari putra Sultan Hamengku Buwana I yang bernama Gusti Raden Mas Sundoro. Ia dilambangkan sebagai seorang anak yang dipuja karena prestasinya mampu menjaga Keraton Ambarketawang dari ancaman musuh. Oleh karenanya ia dilambangkan sebagai gendruwo yang siap memangsa siapa pun yang berkehendak buruk di wilayah Ambarketawang. Diceritakan pula tidak boleh ada jago di wilayah Ambarketawang. Hal ini sebenarnya mengandung makna bahwa tidak boleh ada jagoan di wilayah Ambarketawang. Pada waktu itu yang berlaku sebagai jago adalah Belanda, maka apa bila ada Belanda di wilayah itu akan dimangsa oleh Kiai Jasuta ini.
Sedangkan Kiai Irasuta merupakan akronim dari prawira 'perwira' dan suta 'anak'. Hal ini dimaksudkan sebagai simbolisasi dari putra menantu Sultan Hamengku Buwana I, yakni Raden Mas Said (Mangukenagara I). Oleh karena kelihaiannya dalam memerangi musuh ia mendapatkan nama Kiai Irasuta yang dilambangkan dengan perwujudan gendruwo yang selallu siap sedia menjaga wilayah Ambarketawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar