Di museum ini, pengunjung bisa melihat berbagai peninggalan sejarah perjuangan TNI-AU dengan total hampir 10.000 koleksi, meliputi dokumen berupa foto maupun prasasti, patung para pioner TNI-AU, foto dokumentasi, model pakaian dinas, dan diorama. Di samping itu, museum ini juga menyediakan berbagai macam jenis Alutsista (Alat utama sistem senjata), seperti beragam jenis senjata, puluhan model pesawat, hingga radio pemancar dan radar. Ribuan koleksi Museum Dirgantara tersebut dipamerkan di dalam tujuh ruangan yang berbeda, antara lain Ruang Utama, Ruang Kronologi I, Ruang Kronologi II, Ruang Alutsista, Ruang Paskhas, Ruang Diorama, dan Ruang Minat Dirgantara.
Museum Dirgantara Mandala adalah museum terbesar dan terlengkap mengenai sejarah keberadaan TNI-AU di Indonesia. Lokasi museum sendiri berada di atas area seluas + 5 hektar, dengan luas bangunan sekitar 7.600 m2. Sebelum berlokasi di daerah Wonocatur, Yogyakarta, Museum Pusat TNI-AU berada di Markas Komando Udara V, di Jalan Tanah Abang Bukit Jakarta. Museum tersebut diresmikan oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Roesmin Noerjadin, pada tanggal 4 April 1969.
Berdasarkan pertimbangan bahwa Yogyakarta pada periode 1945—1949 mempunyai peranan penting dalam kelahiran dan perjuangan TNI-AU, serta menjadi pusat pelatihan (kawah candradimuka) bagi para Taruna Akademi Udara, maka museum tersebut akhirnya dipindahkan ke Yogyakarta. Museum Pusat TNI-AU kemudian digabung dengan Museum Ksatrian AAU (Akademi Angkatan Udara) yang sebelumnya sudah ada di Yogyakarta. Peresmian museum baru tersebut dilakukan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU.
Namun, karena lokasinya tidak lagi memadai untuk menampung berbagai koleksi Alutsista yang ada, maka Museum Dirgantara Mandala dipindah ke lokasi yang baru, yaitu di gudang bekas pabrik gula di Wonocatur yang masih berada dalam wilayah Landasan Udara Adisutjipto. Pada zaman Jepang, gedung bekas pabrik gula ini digunakan sebagai gudang senjata dan hanggar pesawat terbang, sehingga memang cukup sesuai untuk digunakan sebagai lokasi museum yang baru. Setelah direnovasi, gedung museum yang baru tersebut kemudian diresmikan pada tanggal 29 Juli 1984 (bertepatan dengan Hari Bhakti TNI-AU) oleh Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Sukardi.
Mengunjungi Museum Dirgantara, wisatawan akan disambut oleh beberapa pesawat tempur dan pesawat angkut yang dipajang di halaman museum. Salah satu koleksi terbaru museum ini adalah pesawat tempur tipe A4-E Skyhawk yang dipajang di muka gedung museum. Hingga tahun 2003, TNI-AU telah mengoperasikan sebanyak 37 pesawat A4-E Skyhawk, sebelum akhirnya beberapa pesawat digantikan oleh pesawat Sukhoi tipe Su-27SK dan Su-30MK.
Pada ruangan selanjutnya, pengunjung akan dikenalkan pada sejarah awal pembentukan angkatan udara di Indonesia. Di Ruang Kronologi I ini, Anda dapat melihat foto dan informasi yang berhubungan dengan pembentukan angkatan udara indonesia, semisal ‘Penerbangan Pertama Pesawat Merah Putih‘ pada 27 Oktober 1945 yang melakukan misi pembalasan atas serangan Belanda, berdirinya ‘Sekolah Penerbangan Pertama di Maguwo‘ pada 7 November 1945 yang dipimpin oleh A. Adisutjipto, berdirinya Tentara Rakyat Indonesia (TRI) Angkatan Udara pada 9 April 1946, serta berbagai perlawanan udara untuk melawan agresi militer Belanda lainnya. Di ruangan ini juga dipamerkan berbagai peralatan radio dan foto penumpasan berbagai pemberontakan di tanah air, seperti pemberontakan DI/TII, Penumpasan G 30 S/PKI, serta Operasi Seroja. Pada ruangan selanjutnya, dipajang berbagai jenis pakaian dinas yang biasa digunakan oleh para personel TNI-AU, meliputi pakaian tempur, pakaian dinas sehari-hari, hingga pakaian untuk tugas penerbangan.
Ruangan yang akan membuat Anda berdecak kagum adalah Ruangan Alutsista atau Alat Utama Sistem Senjata yang pernah digunakan oleh TNI-AU. Alutsista ini meliputi pesawat tempur dan pesawat angkut, model mesin-mesin pesawat, radar pemantau wilayah udara, serta senjata jarak jauh seperti rudal. Koleksi pesawat di ruangan ini mencapai puluhan, mulai dari pesawat buatan Amerika, Eropa, hingga buatan dalam negeri. Salah satu pesawat pemburu taktis yang cukup terkenal adalah pesawat P-51 Mustang buatan Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, pesawat ini telah digunakan dalam berbagai operasi menjaga keutuhan negara, terutama dalam penumpasan pemberontakan DI/TII, Permesta, dan G 30 S/PKI, serta ikut andil dalam Operasi Trikora dan Operasi Dwikora. Pesawat lainnya yang tak kalah menarik adalah pesawat buatan Inggris, namanya Vampire tipe DH-115. Pesawat ini merupakan pesawat jet pertama yang diterbangkan di Indonesia pada tahun 1956 oleh Letnan Udara I Leo Wattimena.
Koleksi lainnya yang sangat penting dalam sejarah TNI-AU adalah replika pesawat C-47 Dakota dengan nomor registrasi VT-CLA yang ditembak jatuh di daerah Ngoto, Bantul, oleh Belanda ketika hendak mendarat di Maguwo Yogyakarta pada 29 Juli 1947. Pesawat ini semula berangkat dari Singapura dengan misi kemanusiaan, yaitu mengangkut bantuan obat-obatan. Penerbangan tersebut sebetulnya telah diumumkan dan disetujui oleh kedua belah-pihak (Belanda-Indonesia). Namun, oleh Belanda pesawat tersebut kemudian ditembak jatuh dan menewaskan para pionir Angkatan Udara, antara lain Komodor Muda Udara Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, serta Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wirjokoesoemo.
Seperti diutarakan oleh F Djoko Poerwoko, untuk menghormati gugurnya para pahlawan udara tersebut, maka nama-nama pioner TNI-AU itu kemudian diabadikan sebagai nama pangkalan udara di Jawa sejak tahun 1952, antara lain Adisutjipto di Yogyakarta, Abdulrahman Saleh di Malang, dan Adisumarmo di Solo. Tanggal 29 Juli sebagai tanggal gugurnya para pahlawan TNI-AU tersebut juga diperingati sebagai ‘Hari Berkabung AURI‘ sejak tahun 1955, kemudian diganti menjadi ‘Hari Bhakti Angkatan Udara‘ sejak tahun 1961.
Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala terletak di Jalan Kol. Sugiono, Kompleks Landasan Udara Adisutjipto, DI Yogyakarta, Indonesia.
Museum ini buka tiap hari Minggu hingga Kamis pukul 08.00—13.00 WIB dan hari Jumat sampai Sabtu pukul 08.00—12.00 WIB. Sedangkan pada hari Senin dan libur nasional tutup.
Museum Dirgantara berada di sebelah timur Jalan Lingkar Timur (Ring Road Timur) Yogyakarta, tepatnya di sebelah timur Jembatan Layang Janti. Jarak Musem Dirgantara dari pusat kota Yogyakarta sekitar 10 kilometer, sementara dari Bandara Adisutjipto sekitar 5 kilometer. Wisatawan yang ingin mengunjungi museum ini dapat menggunakan bus kota jalur 7 (biaya Rp 2.500 per orang), kemudian turun di SD Angkasa. Dari SD ini wisatawan cukup berjalan kaki sejauh + 200 meter untuk sampai di lokasi museum.
Jika menggunakan jasa bus Transjogja, ambillah rute 1 A atau 1 B (dengan biaya Rp 3.000,00 per orang), kemudian turun di halte Janti di bawah jembatan. Dari halte ini Anda dapat berjalan kaki sejauh 500 meter, atau menggunakan jasa becak.
Saat ini Museum Dirgantara telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti perpustakaan, auditorium, mushola, serta toilet. Bagi Anda yang membawa kendaraan pribadi dapat memarkir kendaraan di area parkir museum. Di sekitaran lahan parkir, juga telah tersedia kios suvenir serta kios makanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar