Cagar Alam (CA)/ Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Gamping menjadi satu bagian tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta. Cagar alam ini berada di Dusun Gamping Tengah desa Ambarketawang kecamatan Gamping kabupaten Sleman berjarak sekitar empat kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Hingga kini, Cagar Alam Gunung Gamping berada di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Meski bernama Gunung Gamping bukan lantas objek wisata satu ini berupa hamparan pegunungan gamping yang luas.Gunung Gamping hanya menyisakan bongkahan besar batu gamping dengan diameter kurang lebih 50 meter dengan ketinggian 10 meter.
Meski luasnya hanya sekitar satu hektar, keberadaan Cagar Alam Gunung Gamping sebagai kawasan konservasi sangatlah penting. Salah satunya, untuk mengetahui sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan kehidupan masyarakat saat itu. Pintu masuk Cagar Alam Gunung Gamping. Berada di dalam area objek wisata, udara terasa begitu sejuk karena dikelilingi banyak pohon perindang. Salah satunya keberadaan pohon perindang bernama Preh atau memiliki nama latin Ficus Retusa ini. Mengapa Gunung Gamping hanya menyisakan bongkahan batu seperti saat ini. Ini disebabkan oleh aktivitas penambangan besar-besaran untuk produksi kapur pada era Hindia Belanda sekitar tahun 1800. Namun fakta sejarah mencatat, sekira tahun 1800 tersebut, berkembangnya industri gula di Yogyakarta disinyalir menjadi penyebab utama. Ini karena setiap pabrik gula saat itu membutuhkan ratusan ton kapur yang dihasilkan dari bahan batu gamping dari Gunung Gamping ini. Alhasil, aktivitas penambangan menjadikan luasan area Gunung Gamping terus menerus menurun. Awalnya batuan gamping di Gunung Gamping ini diambil untuk membuat Keraton Yogyakarta. Sebelum berdiri, paska perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I bermukim di sini sekitar tahun 1755 hingga 1756. Di sinilah Pangeran Mangkubumi memantau pembangunan Keraton Yogyakarta yang sekarang masih ada. Dari cerita yang beredar, konon di atas bongkahan batu yang sekarang tersisa ini lah konon Pangeran Mangkubumi kerap bermunajat. Di atas seperti ada semacam petilasan atau bekas tempat duduk yang dipercaya sebagai tempat HB I dulu bertapa. Tak sembarang orang bisa dan diperbolehkan ke atas bongkahan batu gamping ini. Hanya petugas kebersihan yang diperbolehkan ke atas untuk merawat dan membersihkan area batu dari tanaman liar. Itu pun dilakukan harus dengan sepengetahuan dan seizin pihak Keraton Yogyakarta.
Bisa Jadi Spot Foto Menarik
Meskipun hanya berupa bongkahan batu besar, Cagar Alam Gunung Gamping bisa dibilang tak kalah instagramable. Bila menemukan titik yang pas saat pengambilan gambar, pengunjung bisa mendapatkan foto dengan latar belakang batu raksasa ini. Selain itu, pengelola juga menyediakan fasilitas untuk mengadakan perkemahan. Objek wisata ini dibuka untuk umum mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30 WIB. Untuk diketahui, batuan di bongkahan Gunung Gamping ini pernah menjadi objek penelitian baik para peneliti tanah air dan juga mancanegara. Menurut beberapa literatur hasil penelitian menyebutkan, batuan di Gunung Gamping ini merupakan hasil dari pembentukan antara 42,5 juta sampai 36 juta tahun silam. Untuk itulah, seorang geolog Swiss, Werner Rothpletz dan koleganya bernama M.M Purbo Hadiwidjojo mengusulkan agar bongkahan yang saat ini masih tersisa menjadi kawasan suaka alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar