Ini merupakan catatan perjalanan saya saat mudik ke Bandung pada lebaran tahun 2013 lalu. Jangan memaksakan diri membaca tulisan ini kalo tidak punya waktu yang cukup apalagi kalo kepepet. Siapapun boleh membaca tulisan ini asalkan bisa menambah wawasan apalagi bisa bermanfaat baik untuk diri maupun orang lain, weleh-weleh...
Jika dilihat di peta, jarak Yogyakarta ke Bandung sekitar lebih panjang sedikit dari sepertiga panjang pulau Jawa (saya ukur di atlas milik anak saya, panjang pulau Jawa 25 cm dengan skala 1 : 4.000.000 yang artinya panjang pulau Jawa sesungguhnya 1000 km). Namun karena jalan yang menghubungkan Yogya-Bandung adalah jalan aspal yang tidak lurus, perkiraan saya jarak Yogyakarta-Bandung sekitar 413 km (sudah biasa orang Matematika taksirannya harus akurat). Ini saya katakan perjalanan jarak menengah (saya menggolongkan sendiri istilah jarak tempuh perjalanan darat, jarak dekat jika kurang dari 100 km, jarak menengah jika antara 100 - 500 km dan jarak jauh jika lebih dari 500 km). Tidak terlalu jauh jika dibandingkan jarak Jember-Langkat-Banda Aceh ribuan kilometer yang pernah ditempuh oleh kolega saya pak Rusli dan keluarga dan juga tidak terlalu dekat jika dibandingkan jarak Jember-Bondowoso 33 km yang sering dilakukan pak Kiswara yang sebenarnya bisa cukup jalan kaki saja (maklumlah dulu sewaktu tinggal di Jember, saya hampir tiap tahun ikut jalan kaki TaJemTra Tanggul-Jember Tradisional sejauh 30 km). Tapi perjalanan mudik kali ini berbeda dengan perjalanan sebelum-sebelumnya dimana saya sering dari Yogyakarta-Malang yang berjarak 320 km yang sudah saya lakukan "triliunan" kali (begitu kata Mr. Tukul kalo mengatakan saking seringnya). Disamping itu daya jangkau jarak tempuh saya hanya maksimal 400 km sehari karena saya selalu menghindari perjalanan malam hari karena kurang awas. Pernah sekali jarak tempuh sampai 410 km dari Malang ke Jogja lewat Malang-Donomulyo-Lodoyo-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Pracimantoro-Wonosari-Jogja, untuk mendaftarkan sekolah anak saya yang mau masuk SD di Yogyakarta.
Gambar 1. Peta pulau Jawa
Perjalanan mudik Lebaran 1434 H (2013) ini menggunakan dana murni dari kantong sendiri yang insyaAllah halal tidak dibumbui hasil korupsi, ngenthit atau minta-minta, dll, ...he..he..he. Tepat selepas sahur dan sholat subuh berjamaah di masjid Sirothol Mustaqim Karangjati Sinduadi Mlati Sleman juga kultum (kuliah tujuh belas menit, bukan kuliah tujuh menit karena penceramah lupa waktu) tanggal 4 Agustus 2013 pukul 05.47 waktu Yogyakarta saya memulai berangkat dengan kondisi cuaca yang agak dingin (berbeda dengan sebelum-sebelumnya, udara kota Yogyakarta beberapa hari terakhir tembus dibawah 20 derajat C ini hasil catatan BMKG bukan saya mengada-ada lho).
Dari Jogja ke Wates (ibukota kab. Kulonprogo) jalanan sudah kelihatan cukup ramai, mungkin orang-orang memanfaatkan berangkat pagi dikira jalanan masih sepi. Dari arus berlawanan kendaraan-kendaraan berplat nomor luar Jogja sudah mendominasi khususnya plat nomor B. Dari rumah sampai monumen Nyi Ageng Serang di Wates, jarak yang telah ditempuh sejauh 32,0 km dengan jalanan yang mulus terlihat kalo baru dihotmix oleh PU Bina Marga (maklum jalan yang akan saya lewati dari Yogyakarta ke Bandung adalah jalan nasional, saya ogah menggunakan jalan alternatif karena ini perjalanan pertama saya menggunakan kendaraan sendiri dan saya khawatir tersesat seperti pengalaman empat tahun silam mau nyemplung ke laut di pantai selatan perbatasan kabupaten Wonogiri dan kabupaten Pacitan atau saat dari Munjungan-Watulimo kabupaten Trenggalek yang berjarak sekitar 20 km hanya berpapasan dengan dua kendaraan saking sepinya).
Perjalanan selanjutnya menuju Purworejo dan Kutoarjo. Ingat Purworejo jadi ingat beberapa pahlawan kita yang banyak lahir di daerah ini. Sebelum masuk kabupaten Purworejo, gerbang gapura provinsi Jawa Tengah seakan-akan memberikan ucapan selamat datang bagiku. Dari Wates sampai perbatasan provinsi Jawa Tengah dan kecamatan Bagelen Purworejo jalanan sangat mulus, tetapi setelah itu ketemu aspal lama dengan jalan yang bertambal sulam hingga ketemu pertigaan by pass (jalan tembus yang tidak masuk kota Purworejo). By pass Purworejo kelihatan sudah mulus tidak seperti yang pernah saya lewati dua tahun lalu banyak "kolam ikan" sehingga harus pintar-pintar berslalom ria. Sampailah ke Kutoarjo kota kecamatan yang bolah dikatakan ramai seperti kota kecamatan Tanggul di kabupaten Jember. Dari Wates hingga Kutoarjo jarak tempuhnya 42,5 km.
Kota selanjutnya yang dituju adalah Kebumen dimana banyak orang sudah tahu kalo kabupaten Kebumen terkenal dengan penghasil sarang burung walet, sehingga tidak jarang kita temui di kabupaten ini terdapat relief, patung atau logo yang bergambar burung walet. Keluar dari Kutoarjo jalanan sudah terlihat semakin ramai khususnya dari arah barat ke timur. Kalo diperhatikan kendaraan-kendaraan yang datang dari arah barat berplat nomor B dan D juga kadang-kadang terlihat plat nomor T, Z, F, E, G dan R dan tentunya kendaraan lokal yang berplat nomor AA (Kedu yang meliputi kab/kota Magelang, kab. Temanggung, Wonosobo, Purworejo dan Kebumen). Sepanjang jalan dari Kutoarjo ke Kebumen banyak dijumpai penjual es dawet ireng (hitam) yang merupakan minuman khas dari kecamatan Butuh Purworejo, jadinya agak ngiler lihat dawet tapi berhubung sedang puasa kucoba lupakan itu dengan catatan nanti kalo balik akan "balas dendam" harus mampir ke warung dawet ireng. Sampai di depan terminal Kebumen (maaf gak bisa masuk Kebumen kota karena digiring polisi agar pemudik tidak lewat kota) jarak yang tercatat dari Kutoarjo-Kebumen adalah 27,3 km.
Matahari sudah empat puluh lima derajat dari garis horizontal sehingga udara hangat kian terasa. Perjalanan berikutnya adalah menuju Gombong yang juga masih dalam kabupaten Kebumen. Di kota Gombong ini ada benteng Van der Wijk lho, siapa yang belum tahu ayo berkunjung ke sana... Sepanjang perjalanan dari Kebumen ke Gombong terasa biasa-biasa saja, jalanan tidak mulus tapi juga tidak jelek alias menggunakan jalan lama yang tidak dihotmix lagi mungkin dananya terlalu besar kalo tiap lebaran harus diperbarui lagi. Jarak tempuh Kebumen-Gombong berkisar 22,6 km melewati kota kecamatan Karanganyar (jangan salah dengan kabupaten Karanganyar di timur kota Solo).
Setelah sempat beristirahat 10-15 menit di sebuah SPBU di Gombong yang bisa dikatakan lengkap karena menyediakan banyak ruang toilet dan ada restorannya, perjalanan dilanjutkan ke Buntu (bukan jalan buntu lho). Tidak jauh selepas Gombong, saya memasuki gerbang kabupaten Banyumas hingga sampai kota kecamatan Sumpiuh. Jalanan tersendat di depan pasar Sumpiuh karena polisi memberi separator di tengah jalan menggunakan tali plastik untuk memisahkan jalur dari barat ke timur dan sebaliknya atau mungkin digunakan agar masyarakat tidak seenaknya menyeberang jalan yang akan menambah kesemrawutan kendaraan (kenapa gak dibuatin jembatan penyeberangan saja, he..he.. kayak di Jakarta aja padahal ini ndeso). Akhirnya sampailah di kota Buntu tepatnya perempatan dimana kalo lurus ke Jakarta/Bandung kalo belok kiri ke Cilacap dan kalo belok kanan ke Purwokerto (ibukota kabupaten Banyumas). Di perempatan Buntu ini banyak sekali toko yang berjualan oleh-oleh seperti gethuk goreng Sokaraja atau lenthing khas Banyumas dan juga warung-warung soto khas Sokaraja. Maunya sih bawa oleh-oleh gethuk goreng Sokaraja tapi mikir-mikir bawaan sudah banyak dan kalo masih mampir-mampir bisa-bisa sampai Bandung tahun depan, he..he... Lewat sudah dan tercatat jarak tempuh Gombong-Buntu adalah 28,1 km.
Hela napas panjang untuk melanjutkan perjalanan ke Wangon masih di kabupaten Banyumas. Beberapa tahun sebelumnya setiap kali ada siaran arus mudik via RRI, nama Wangon ini sering terdengar. Ternyata Wangon ini merupakan pertigaan pertemuan arus dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Pantesan selalu dipantau petugas karena jadi sumber kemacetan di pertemuan arus itu. Tentunya saya memilih ke kiri alias jalur ke Bandung. Dari Buntu sampai Wangon melewati Sampang (Sampang masuk kabupaten Cilacap kirain di Madura) dan Rawalo. Jarak tempuh dari perempatan Buntu ke pertigaan Wangon adalah 25,0 km.
Berikutnya kota yang dituju adalah Majenang. Ingat Majenang ingatan saya kembali ke tahun 1995 yang pernah singgah di kota ini habis dari tour ke Bandung/Jakarta waktu makan di warung rasa masakannya terasa asinnya luar negeri sepertinya yang masak lupa kalo garam dikira gula, tapi karena lapar habis juga. Begitu keluar dari kecamatan Lumbir kabupaten Banyumas maka sampailah di kabupaten Cilacap. Jarak Wangon ke Majenang sejauh 47,6 km dengan melewati Lumbir, Karangpucung dan Cimanggu. Sejauh yang saya amati, Majenang termasuk kota yang ramai padahal hanya sebuah kota kecamatan seperti Turen, Tumpang, Lawang di kabupaten Malang atau Ambulu di kabupaten Jember.
Sejenak berhenti di Majenang, perjalanan dilanjutkan ke kota Banjar (daerah otonom hasil pemekaran kabupaten Ciamis). Orang banyak yang bilang kalo kota Banjar itu adanya di Kalimantan Selatan padahal ini di Jawa Barat. Kalo di Kalsel itu kota Banjarbaru atau Banjarmasin atau kabupaten Banjar. Dari Majenang masuk ke kecamatan Wanaraja hingga perbatasan provinsi Jateng-Jabar jalannya lumayan berkelok-kelok dengan kondisi jalan yang agak parah sehingga kalo lewat jalan tersebut seperti naik kuda yang mencal-mencal. Bagaimana tidak lha wong jalannya bergelombang diperparah dengan aspal yang terkelupas atau tambal sulam yang tak rata. Tapi segar juga udaranya karena melintasi perkebunan karet di kanan atau kiri jalan. Begitu gapura Jawa Tengah dan Kodam Diponegoro mengucapkan selamat jalan maka disambut gapura senjata khas Jawa Barat, apa hayooo, yakni Kujang yang berada di kanan dan kiri jalan dan tak lupa sambutan dari Kodam Siliwangi berupa patung prajurit Siliwangi dan Harimau. Saya berhenti diperbatasan ini karena waktu hampir menunjukkan pukul 12.00 yang ternyata tak lama terdengar suara adzan dhuhur. Wah kebetulan 50 m di selatan jalan ada masjid. Sholat dhuhur berjamaah hanya oleh tiga orang yakni satu imam dan dua jamaah diantaranya saya. Ternyata sang imam adalah yang tadi saya perhatikan sedang mengecat masjid. Karena saya musafir maka ada rukhsoh untuk dapat menjamak dan mengqoshor sholat ashar. Sebelum saya melanjutkan perjalanan, sang imam tadi sempat bertanya pada saya: "mau kemana?". Saya jawab "ke Bandung". Orang tadi kemudian melanjutkan perkataannya: "kalo lancar ke Bandung sekitar empat jam, saya sebelum puasa kemarin ke Jakarta naik bus berangkat jam 9 pagi sampai Jakarta jam 9 malam". Dalam hatiku berdoa semoga perjalananku lancar mengingat menurut Kemenhub bahwa arus puncak terjadi pada hari Sabtu (kemarin) dan Minggu (sekarang). Okelah, kulihat waktu menunjukkan pukul 12.30 aku harus melanjutkan perjalanan, sampailah di kota Banjar. Dari Majenang sampai ke pertigaan di kota Banjar jarak yang kutempuh sejauh 32,1 km.
Kota berikutnya Ciamis. Sepanjang perjalanan di dalam kota Banjar, jalanan sangat mulus dan lebar. Arus kendaraan dari arah Bandung maupun Jakarta lewat jalur selatan ini semakin terlihat ramai dan padat. Untungnya perjalananku melawan arus mudik dimana dari arah timur ramai tapi lancar. Setelah menempuh jarak sejauh 22,7 km sampailah di kota Ciamis tepatnya di pertigaan kota dimana kalo ke kiri menuju Pangandaran dan kalo ke kanan menuju Bandung.
Dari Ciamis, berikutnya menuju Tasikmalaya. Menurut yang kutahu seharusnya menuju Bandung tidak perlu melewati Tasikmalaya kota tetapi cukup pinggirannya saja. Tetapi karena arus kendaraan dialihkan polisi maka akhirnya saya dibelokkan ke Tasikmalaya kota hingga bertemulah bunderan di kota Tasikmalaya, tapi entah apa nama bunderan itu. Kulihat jarak yang telah kutempuh dari Ciamis ke Tasikmalaya menunjukkan angka 18,8 km.
Setelah keluar dari Tasikmalaya saya memilih jalur utama menuju Bandung melalui Malangbong, Jadi saya harus melewati kota Ciawi yang masih dalam kabupaten Tasikmalaya. Ternyata sampai di Ciawi pertigaan, suasana arus mudik kiat padat. Petugas dari kepolisian dibantu dari adik-adik Pramuka sibuk mengatur lalu lintas. Dari sinilah kemacetan mulai terjadi khususnya dari arah barat kendaraan merayap dengan kecepatan maksimal sekitar 25 km/jam. Dari bunderan di Tasikmalaya hingga tikungan sebelum pertigaan Ciawi ini jarak tempuhnya 21,5 km.
Perjalanan tetap dilanjutkan menuju Limbangan (kab. Garut) dengan melewati tanjakan Genthong yang terkenal dengan kemacetannya. Benar sekali, begitu sampai Genthong (kec. Kadipaten kab. Tasikmalaya) dari arah barat arus kendaraan berjalan dengan kecepatan seperti orang berjalan kaki, bahkan tidak jarang berhenti total alias mandheg. Saya yang dari arah timur masih agak beruntung karena kepadatannya tidak seperti yang dari arah barat hingga saya dapat melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Kendaraan dari arah barat khususnya roda dua berusaha bergerak mencari celah diantara kemacetan yang terkadang membahayakan bagi pengendara lain. Saya menemui sebuah kendaraan roda empat yang mogok di tikungan jalan, sehingga sebuah bus dari arah barat sempat mengambil badan jalan lajur saya yang sempat akan menghantam kendaraan roda dua yang berusaha mencari celah, untunglah tidak terjadi petaka. Di daerah Genthong ini akhirnya kubertemu lajur baru yang terpisah sehingga bisa mengurangi kemacetan, tapi sayang lajur ini hanya beberapa ratus meter saja dan kembali bertemu dengan kendaraan dari arah barat. Kemacetan dari Genthong ini ternyata masih berlanjut hingga saya sampai pertigaan Limbangan (belok kiri menuju Garut, lurus ke Bandung). Jarak tempuh dari Ciawi ke Limbangan ini 34,8 km melewati Malangbong. Tidak melelahkan tapi justru menyenangkan karena bisa merasakan mudik bersama jutaan orang yang tumpek bleg di jalanan.
Selanjutnya sudah di depan mata pasti tidak jauh lagi sampai Bandung, tapi saya harus melewati jalanan yang sudah sangat terkenal yakni Nagrek. Benar selepas Limbangan ketemu Nagrek dimana arus kendaraan tidak berbeda seperti di Genthong macet total sesekali bergerak perlahan. Untungnya dari arah timur menggunakan jalur baru dengan tiga lajur yang mulus dan melewati terowongan dengan celah-celah terbuka saya dapat bergerak dengan kecepatan hingga 80 km/jam, dan sampailah Cicalengka. Rupanya saya salah memilih jalur lurus sehingga masuk jalan melalui depan pasar Cicalengka dan pas di depan kantor kecamatan Cicalengka jarak yang kutempuh dari Limbangan sejauh 19,7 km.
Berusaha mencari jalan utama akhirnya ketemu lagi dengan kendaraan dari arah timur. Jalanan sudah besar dengan tiga lajur namun karena banyak juga kendaraan lokal khususnya roda dua yang lalu lalang sehingga terkesan semrawut karena berusaha saling mendahului tanpa mempedulikan kendaraan lain. Sampai juga di Cileunyi dan ini merupakan pertemuan arus dari keluar tol dari arah Jakarta dengan arus dari arah Cirebon lewat Sumedang dan tentunya dari arah yang saya lewati yakni jalur selatan dari Yogyakarta/Tasikmalaya. Jarak tempuh dari depan kantor kecamatan Cicalengka hingga depan terminal Cileunyi sejauh 12,3 km.
Di depan jalan Percobaan Cileunyi kendaraan lokal juga memadati hingga sampai depan terminal Cicaheum yang kukira semula jarak Cileunyi-Cicaheum hanya 5 km ternyata jarak yang tercatat adalah 12,9 km.
Alhamdulillah, akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan saya ke depan pintu gerbang rumah di jalan Tamansari Bandung menjelang pukul 17.30. Jarak tempuh dari Cicaheum ke rumah sejauh 8 km. Dengan tidak terasa capek sedikitpun kecuali sebagian leher yang sedikit sulit ditolehkan saya mandi dengan dinginnya air kota Bandung. Setelah mandi dan rasa segar terasa di badan, leher yang sakit tadi sudah hilang, dan tak lama terdengar suara adzan maghrib. Langsung saja santap makan berbuka. Inilah untuk kedua kalinya saya berbuka puasa di rumah pada ramadhan 1434 H ini, karena hari-hari sebelumnya biasa berbuka di beberapa masjid di Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman, Maskam UGM, Mardliyah selatan RS Sardjito, Jogokaryan, dll) atau dapat undangan di tempat-tempat lain (rumah p.Agus Mulyanto desa Minomartani, rumah p.Ma'ruf Condong Catur, warung Bumbu Desa Jakal km 6, dan di rumah Qur'an utara masjid Nurul Asri Jakal km 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar