Sabtu, 19 Agustus 2017

NAPAK TILAS JEJAK-JEJAK PERANG DIPONEGORO - JAWA TENGAH, D.I. YOGYAKARTA DAN JAWA TIMUR

Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830. Penyebab umum perang ini adalah terdapatnya rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Gambar 1. Relief perang Diponegoro di wisata Kyai Langgeng kota Magelang

Di bidang politik, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan intern keraton. Dengan seenaknya mereka memecat sultan atau pejabat lain yang tidak mereka sukai dan mengangkat orang-orang yang mereka senangi. Akibatnya, di lingkungan keraton muncul golongan yang pro-Belanda dan yang anti Belanda.
Berkembangnya budaya Barat di lingkungan keraton juga menimbulkan rasa tidak puas. Sebagian bangsawan terutama bangsawan golongan muda terpengaruh olehnya. Mereka sering mengadakan pesta sampai larut malam disertai dansa dan minuman keras. Para pemuka agama menganggap perbuatan itu tidak sesuai dengan ajaran agama. Bangsawan golongan tua menganggapnya dapat merusak nilai-nilai budaya tradisional.
Kebijakan yang menimbulkan rasa tidak puas yang luas ialah kebijakan di bidang ekonomi. Rasa tidak puas itu terdapat di kalangan penduduk biasa. Sebagian bangsawan pun memperlihatkan rasa tidak senang mereka.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo.

Gambar 2. Kraton Ngayogyokarta Hadiningrat di Yogyakarta

Konflik Pangeran Diponegoro dengan  Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan sarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.

Gambar 3. Bekas rumah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo Yogyakarta

Gambar 4. Tembok rumah yang tebal dijebol oleh pangeran Diponegoro saat dikepung Belanda

Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro beserta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.

Gambar 5. Goa Sriti di Samigaluh Kulonprogo

Setelah itu meneruskan ke arah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.


Gambar 6. Goa Selarong di Guwosari Pajangan Bantul

Kemudian, Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Dukungan juga datang dari Kyai Maja dan Nyi Ageng Serang.
Gambar 7. Makam Nyi Ageng Serang di Kalibawang Kulonprogo

Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.  Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata untuk mencari informasi guna menyusun setrategi perang.
 
Gambar 8. Makam pengikut Pangeran Diponegoro di Dekso Kulonprogo

Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awalnya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).

Gambar 9. Perbatasan Purworejo dan Magelang di Lowano, daerah perang Diponegoro

Perlawanan lalu berlanjut ke daerah lain: Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang. Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Gambar 10. Kompleks masjid pathok negoro Mlangi Sleman, sebagian makam pengikut Pangeran Diponegoro

Belanda kewalahan menghadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan strategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Belanda menerapkan setrategi Benteng Stelsel, benteng-benteng pertahanan  dibangun  dan  dijaga  terus-menerus  setelah   tentara   Belanda   berhasil menguasai daerah 
Gambar 11. Benteng Van den Bosch (benteng Pendem) di Ngawi

yang ditingalkan pasukan Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut, pasukan Diponegoro semakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima perangnya satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saat ia menerima tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan, Diponegoro langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir Perang Jawa. Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegoro merupakan pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam perang ini, banyak jatuh korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara itu ada 8000-an serdadu Belanda  tewas.

Gambar 12. Gedung tempat pangeran Diponegoro berunding dan ditangkap di Magelang

Dari cerita di atas sudah selayaknya kita bersyukur kepada Allah SWT, dan mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa !


Gambar 13. Monumen Pangeran Diponegoro di Alun-alun kota Magelang
 
Gambar 14. Replika prajurit Diponegoro di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALUN-ALUN KABUPATEN TULUNGAGUNG - JAWA TIMUR

Alun-alun Kabupaten Tulungagung, atau yang dikenal dengan sebutan “Taman Aloon-aloon" merupakan ikon dari Kabupaten Tulungagung. Taman...