Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro terjadi pada
tahun 1825-1830. Penyebab umum perang ini adalah terdapatnya rasa tidak
puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang
dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Di
bidang politik, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan intern keraton. Dengan
seenaknya mereka memecat sultan atau pejabat lain yang tidak mereka sukai dan
mengangkat orang-orang yang mereka senangi. Akibatnya, di lingkungan keraton
muncul golongan yang pro-Belanda dan yang anti Belanda.
Berkembangnya
budaya Barat di lingkungan keraton juga menimbulkan rasa tidak puas. Sebagian
bangsawan terutama bangsawan golongan muda terpengaruh olehnya. Mereka sering
mengadakan pesta sampai larut malam disertai dansa dan minuman keras. Para
pemuka agama menganggap perbuatan itu tidak sesuai dengan ajaran agama.
Bangsawan golongan tua menganggapnya dapat merusak nilai-nilai budaya
tradisional.
Kebijakan
yang menimbulkan rasa tidak puas yang luas ialah kebijakan di bidang ekonomi.
Rasa tidak puas itu terdapat di kalangan penduduk biasa. Sebagian bangsawan pun
memperlihatkan rasa tidak senang mereka.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo.
Konflik Pangeran Diponegoro dengan Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah
kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan sarana transportasi dan
militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan,
termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Di tanah
leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk
menyelesaikan masalah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang
Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah
olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan
pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat
Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti
patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan
untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun
didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Gambar 4. Tembok rumah yang tebal dijebol oleh pangeran Diponegoro saat dikepung Belanda
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro
beserta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang.
Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo.
Setelah itu meneruskan ke arah selatan sampai
ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari
Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.
Gambar 6. Goa Selarong di Guwosari Pajangan Bantul
Kemudian,
Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukungan dari
beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun
Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo
seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Dukungan juga datang dari Kyai
Maja dan Nyi Ageng Serang.
Gambar 7. Makam Nyi Ageng Serang di Kalibawang Kulonprogo
Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan
pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak
Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah
pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh
Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain
untuk menyokong keperluan perang. Belanda menyiapkan puluhan kilang
mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus
diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan
mata-mata untuk mencari informasi guna menyusun setrategi perang.
Gambar 8. Makam pengikut Pangeran Diponegoro di Dekso Kulonprogo
Selanjutnya
Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni
dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah.
Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro
mendapat dukungan rakyat. Awalnya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah
barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo,
Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).
Gambar 9. Perbatasan Purworejo dan Magelang
di Lowano, daerah perang Diponegoro
Perlawanan
lalu berlanjut ke daerah lain: Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan
sekitar Semarang. Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya
dilakukan pada bulan-bulan penghujan, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut
melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Gambar 10. Kompleks masjid pathok negoro
Mlangi Sleman, sebagian makam pengikut Pangeran Diponegoro
Belanda
kewalahan menghadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827
pemerintah Hindia Belanda menerapkan strategi jitu untuk mematahkan perlawanan
gerilya ini. Belanda menerapkan setrategi Benteng Stelsel,
benteng-benteng pertahanan dibangun dan dijaga
terus-menerus setelah tentara Belanda berhasil menguasai daerah
Gambar 11. Benteng Van den Bosch (benteng Pendem) di Ngawi
yang ditingalkan pasukan
Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut, pasukan
Diponegoro semakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan
sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima perangnya
satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di
Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saat ia menerima
tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan, Diponegoro
langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir Perang Jawa.
Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegoro merupakan
pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam perang ini, banyak jatuh
korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen
Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara
itu ada 8000-an serdadu Belanda tewas.
Gambar 12. Gedung tempat pangeran Diponegoro berunding dan ditangkap di Magelang
Dari cerita di atas sudah selayaknya kita
bersyukur kepada Allah SWT, dan mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa
!
Gambar 13. Monumen Pangeran Diponegoro di Alun-alun kota Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar