Selasa, 22 Agustus 2017

CATATAN PERJALANAN SEORANG MUDIKER (YOGYAKARTA - BANDUNG PP)

Ini merupakan catatan perjalanan saya saat mudik ke Bandung pada lebaran tahun 2013 lalu. Jangan memaksakan diri membaca tulisan ini kalo tidak punya waktu yang cukup apalagi kalo kepepet. Siapapun boleh membaca tulisan ini asalkan bisa menambah wawasan apalagi bisa bermanfaat baik untuk diri maupun orang lain, weleh-weleh...

Jika dilihat di peta, jarak Yogyakarta ke Bandung sekitar lebih panjang sedikit dari sepertiga panjang pulau Jawa (saya ukur di atlas milik anak saya, panjang pulau Jawa 25 cm dengan skala 1 : 4.000.000 yang artinya panjang pulau Jawa sesungguhnya 1000 km). Namun karena jalan yang menghubungkan Yogya-Bandung adalah jalan aspal yang tidak lurus, perkiraan saya jarak Yogyakarta-Bandung sekitar 413 km (sudah biasa orang Matematika taksirannya harus akurat). Ini saya katakan perjalanan jarak menengah (saya menggolongkan sendiri istilah jarak tempuh perjalanan darat, jarak dekat jika kurang dari 100 km, jarak menengah jika antara 100 - 500 km dan jarak jauh jika lebih dari 500 km). Tidak terlalu jauh jika dibandingkan jarak Jember-Langkat-Banda Aceh ribuan kilometer yang pernah ditempuh oleh kolega saya pak Rusli dan keluarga dan juga tidak terlalu dekat jika dibandingkan jarak Jember-Bondowoso 33 km yang sering dilakukan pak Kiswara yang sebenarnya bisa cukup jalan kaki saja (maklumlah dulu sewaktu tinggal di Jember, saya hampir tiap tahun ikut jalan kaki TaJemTra Tanggul-Jember Tradisional sejauh 30 km). Tapi perjalanan mudik kali ini berbeda dengan perjalanan sebelum-sebelumnya dimana saya sering dari Yogyakarta-Malang yang berjarak 320 km yang sudah saya lakukan "triliunan" kali (begitu kata Mr. Tukul kalo mengatakan saking seringnya). Disamping itu daya jangkau jarak tempuh saya hanya maksimal 400 km sehari karena saya selalu menghindari perjalanan malam hari karena kurang awas. Pernah sekali jarak tempuh sampai 410 km dari Malang ke Jogja lewat Malang-Donomulyo-Lodoyo-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Pracimantoro-Wonosari-Jogja, untuk mendaftarkan sekolah anak saya yang mau masuk SD di Yogyakarta.

Gambar 1. Peta pulau Jawa

Perjalanan mudik Lebaran 1434 H (2013) ini menggunakan dana murni dari kantong sendiri yang insyaAllah halal tidak dibumbui hasil korupsi, ngenthit atau minta-minta, dll, ...he..he..he. Tepat selepas sahur dan sholat subuh berjamaah di masjid Sirothol Mustaqim Karangjati Sinduadi Mlati Sleman juga kultum (kuliah tujuh belas menit, bukan kuliah tujuh menit karena penceramah lupa waktu) tanggal 4 Agustus 2013 pukul 05.47 waktu Yogyakarta saya memulai berangkat dengan kondisi cuaca yang agak dingin (berbeda dengan sebelum-sebelumnya, udara kota Yogyakarta beberapa hari terakhir tembus dibawah 20 derajat C ini hasil catatan BMKG bukan saya mengada-ada lho).
Dari Jogja ke Wates (ibukota kab. Kulonprogo) jalanan sudah kelihatan cukup ramai, mungkin orang-orang memanfaatkan berangkat pagi dikira jalanan masih sepi. Dari arus berlawanan kendaraan-kendaraan berplat nomor luar Jogja sudah mendominasi khususnya plat nomor B. Dari rumah sampai monumen Nyi Ageng Serang di Wates, jarak yang telah ditempuh sejauh 32,0 km dengan jalanan yang mulus terlihat kalo baru dihotmix oleh PU Bina Marga (maklum jalan yang akan saya lewati dari Yogyakarta ke Bandung adalah jalan nasional, saya ogah menggunakan jalan alternatif karena ini perjalanan pertama saya menggunakan kendaraan sendiri dan saya khawatir tersesat seperti pengalaman empat tahun silam mau nyemplung ke laut di pantai selatan perbatasan kabupaten Wonogiri dan kabupaten Pacitan atau saat dari Munjungan-Watulimo kabupaten Trenggalek yang berjarak sekitar 20 km hanya berpapasan dengan dua kendaraan saking sepinya).
Perjalanan selanjutnya menuju Purworejo dan Kutoarjo. Ingat Purworejo jadi ingat beberapa pahlawan kita yang banyak lahir di daerah ini. Sebelum masuk kabupaten Purworejo, gerbang gapura provinsi Jawa Tengah seakan-akan memberikan ucapan selamat datang bagiku. Dari Wates sampai perbatasan provinsi Jawa Tengah dan kecamatan Bagelen Purworejo jalanan sangat mulus, tetapi setelah itu ketemu aspal lama dengan jalan yang bertambal sulam hingga ketemu pertigaan by pass (jalan tembus yang tidak masuk kota Purworejo). By pass Purworejo kelihatan sudah mulus tidak seperti yang pernah saya lewati dua tahun lalu banyak "kolam ikan" sehingga harus pintar-pintar berslalom ria. Sampailah ke Kutoarjo kota kecamatan yang bolah dikatakan ramai seperti kota kecamatan Tanggul di kabupaten Jember. Dari Wates hingga Kutoarjo jarak tempuhnya 42,5 km.

Gambar 2, Gerbang provinsi Jawa Tengah di kab. Kulonprogo - kab. Purworejo

Kota selanjutnya yang dituju adalah Kebumen dimana banyak orang sudah tahu kalo kabupaten Kebumen terkenal dengan penghasil sarang burung walet, sehingga tidak jarang kita temui di kabupaten ini terdapat relief, patung atau logo yang bergambar burung walet. Keluar dari Kutoarjo jalanan sudah terlihat semakin ramai khususnya dari arah barat ke timur. Kalo diperhatikan kendaraan-kendaraan yang datang dari arah barat berplat nomor B dan D juga kadang-kadang terlihat plat nomor T, Z, F, E, G dan R dan tentunya kendaraan lokal yang berplat nomor AA (Kedu yang meliputi kab/kota Magelang, kab. Temanggung, Wonosobo, Purworejo dan Kebumen). Sepanjang jalan dari Kutoarjo ke Kebumen banyak dijumpai penjual es dawet ireng (hitam) yang merupakan minuman khas dari kecamatan Butuh Purworejo, jadinya agak ngiler lihat dawet tapi berhubung sedang puasa kucoba lupakan itu dengan catatan nanti kalo balik akan "balas dendam" harus mampir ke warung dawet ireng. Sampai di depan terminal Kebumen (maaf gak bisa masuk Kebumen kota karena digiring polisi agar pemudik tidak lewat kota) jarak yang tercatat dari Kutoarjo-Kebumen adalah 27,3 km.
Matahari sudah empat puluh lima derajat dari garis horizontal sehingga udara hangat kian terasa. Perjalanan berikutnya adalah menuju Gombong yang juga masih dalam kabupaten Kebumen. Di kota Gombong ini ada benteng Van der Wijk lho, siapa yang belum tahu ayo berkunjung ke sana... Sepanjang perjalanan dari Kebumen ke Gombong terasa biasa-biasa saja, jalanan tidak mulus tapi juga tidak jelek alias menggunakan jalan lama yang tidak dihotmix lagi mungkin dananya terlalu besar kalo tiap lebaran harus diperbarui lagi. Jarak tempuh Kebumen-Gombong berkisar 22,6 km melewati kota kecamatan Karanganyar (jangan salah dengan kabupaten Karanganyar di timur kota Solo).
Setelah sempat beristirahat 10-15 menit di sebuah SPBU di Gombong yang bisa dikatakan lengkap karena menyediakan banyak ruang toilet dan ada restorannya, perjalanan dilanjutkan ke Buntu (bukan jalan buntu lho). Tidak jauh selepas Gombong, saya memasuki gerbang kabupaten Banyumas hingga sampai kota kecamatan Sumpiuh. Jalanan tersendat di depan pasar Sumpiuh karena polisi memberi separator di tengah jalan menggunakan tali plastik untuk memisahkan jalur dari barat ke timur dan sebaliknya atau mungkin digunakan agar masyarakat tidak seenaknya menyeberang jalan yang akan menambah kesemrawutan kendaraan (kenapa gak dibuatin jembatan penyeberangan saja, he..he.. kayak di Jakarta aja padahal ini ndeso). Akhirnya sampailah di kota Buntu tepatnya perempatan dimana kalo lurus ke Jakarta/Bandung kalo belok kiri ke Cilacap dan kalo belok kanan ke Purwokerto (ibukota kabupaten Banyumas). Di perempatan Buntu ini banyak sekali toko yang berjualan oleh-oleh seperti gethuk goreng Sokaraja atau lenthing khas Banyumas dan juga warung-warung soto khas Sokaraja. Maunya sih bawa oleh-oleh gethuk goreng Sokaraja tapi mikir-mikir bawaan sudah banyak dan kalo masih mampir-mampir bisa-bisa sampai Bandung tahun depan, he..he... Lewat sudah dan tercatat jarak tempuh Gombong-Buntu adalah 28,1 km.
Hela napas panjang untuk melanjutkan perjalanan ke Wangon masih di kabupaten Banyumas. Beberapa tahun sebelumnya setiap kali ada siaran arus mudik via RRI, nama Wangon ini sering terdengar. Ternyata Wangon ini merupakan pertigaan pertemuan arus dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Pantesan selalu dipantau petugas karena jadi sumber kemacetan di pertemuan arus itu. Tentunya saya memilih ke kiri alias jalur ke Bandung. Dari Buntu sampai Wangon melewati Sampang (Sampang masuk kabupaten Cilacap kirain di Madura) dan Rawalo. Jarak tempuh dari perempatan Buntu ke pertigaan Wangon adalah 25,0 km.
Berikutnya kota yang dituju adalah Majenang. Ingat Majenang ingatan saya kembali ke tahun 1995 yang pernah singgah di kota ini habis dari tour ke Bandung/Jakarta waktu makan di warung rasa masakannya terasa asinnya luar negeri sepertinya yang masak lupa kalo garam dikira gula, tapi karena lapar habis juga. Begitu keluar dari kecamatan Lumbir kabupaten Banyumas maka sampailah di kabupaten Cilacap. Jarak Wangon ke Majenang sejauh 47,6 km dengan melewati Lumbir, Karangpucung dan Cimanggu. Sejauh yang saya amati, Majenang termasuk kota yang ramai padahal hanya sebuah kota kecamatan seperti Turen, Tumpang, Lawang di kabupaten Malang atau Ambulu di kabupaten Jember.

Gambar 3. Alun-alun Majenang

Sejenak berhenti di Majenang, perjalanan dilanjutkan ke kota Banjar (daerah otonom hasil pemekaran kabupaten Ciamis). Orang banyak yang bilang kalo kota Banjar itu adanya di Kalimantan Selatan padahal ini di Jawa Barat. Kalo di Kalsel itu kota Banjarbaru atau Banjarmasin atau kabupaten Banjar. Dari Majenang masuk ke kecamatan Wanaraja hingga perbatasan provinsi Jateng-Jabar jalannya lumayan berkelok-kelok dengan kondisi jalan yang agak parah sehingga kalo lewat jalan tersebut seperti naik kuda yang mencal-mencal. Bagaimana tidak lha wong jalannya bergelombang diperparah dengan aspal yang terkelupas atau tambal sulam yang tak rata. Tapi segar juga udaranya karena melintasi perkebunan karet di kanan atau kiri jalan. Begitu gapura Jawa Tengah dan Kodam Diponegoro mengucapkan selamat jalan maka disambut gapura senjata khas Jawa Barat, apa hayooo, yakni Kujang yang berada di kanan dan kiri jalan dan tak lupa sambutan dari Kodam Siliwangi berupa patung prajurit Siliwangi dan Harimau. Saya berhenti diperbatasan ini karena waktu hampir menunjukkan pukul 12.00 yang ternyata tak lama terdengar suara adzan dhuhur. Wah kebetulan 50 m di selatan jalan ada masjid. Sholat dhuhur berjamaah hanya oleh tiga orang yakni satu imam dan dua jamaah diantaranya saya. Ternyata sang imam adalah yang tadi saya perhatikan sedang mengecat masjid. Karena saya musafir maka ada rukhsoh untuk dapat menjamak dan mengqoshor sholat ashar. Sebelum saya melanjutkan perjalanan, sang imam tadi sempat bertanya pada saya: "mau kemana?". Saya jawab "ke Bandung". Orang tadi kemudian melanjutkan perkataannya: "kalo lancar ke Bandung sekitar empat jam, saya sebelum puasa kemarin ke Jakarta naik bus berangkat jam 9 pagi sampai Jakarta jam 9 malam". Dalam hatiku berdoa semoga perjalananku lancar mengingat menurut Kemenhub bahwa arus puncak terjadi pada hari Sabtu (kemarin) dan Minggu (sekarang). Okelah, kulihat waktu menunjukkan pukul 12.30 aku harus melanjutkan perjalanan, sampailah di kota Banjar. Dari Majenang sampai ke pertigaan di kota Banjar jarak yang kutempuh sejauh 32,1 km.


Gambar 4. Gerbang provinsi Jawa Barat di kota Banjar

Kota berikutnya Ciamis. Sepanjang perjalanan di dalam kota Banjar, jalanan sangat mulus dan lebar. Arus kendaraan dari arah Bandung maupun Jakarta lewat jalur selatan ini semakin terlihat ramai dan padat. Untungnya perjalananku melawan arus mudik dimana dari arah timur ramai tapi lancar. Setelah menempuh jarak sejauh 22,7 km sampailah di kota Ciamis tepatnya di pertigaan kota dimana kalo ke kiri menuju Pangandaran dan kalo ke kanan menuju Bandung.

Gambar 5. Masjid Agung Ciamis di sebelah barat Alun-alun

Dari Ciamis, berikutnya menuju Tasikmalaya. Menurut yang kutahu seharusnya menuju Bandung tidak perlu melewati Tasikmalaya kota tetapi cukup pinggirannya saja. Tetapi karena arus kendaraan dialihkan polisi maka akhirnya saya dibelokkan ke Tasikmalaya kota hingga bertemulah bunderan di kota Tasikmalaya, tapi entah apa nama bunderan itu. Kulihat jarak yang telah kutempuh dari Ciamis ke Tasikmalaya menunjukkan angka 18,8 km.
Setelah keluar dari Tasikmalaya saya memilih jalur utama menuju Bandung melalui Malangbong, Jadi saya harus melewati kota Ciawi yang masih dalam kabupaten Tasikmalaya. Ternyata sampai di Ciawi pertigaan, suasana arus mudik kiat padat. Petugas dari kepolisian dibantu dari adik-adik Pramuka sibuk mengatur lalu lintas. Dari sinilah kemacetan mulai terjadi khususnya dari arah barat kendaraan merayap dengan kecepatan maksimal sekitar 25 km/jam. Dari bunderan di Tasikmalaya hingga tikungan sebelum pertigaan Ciawi ini jarak tempuhnya 21,5 km.
Perjalanan tetap dilanjutkan menuju Limbangan (kab. Garut) dengan melewati tanjakan Genthong yang terkenal dengan kemacetannya. Benar sekali, begitu sampai Genthong (kec. Kadipaten kab. Tasikmalaya) dari arah barat arus kendaraan berjalan dengan kecepatan seperti orang berjalan kaki, bahkan tidak jarang berhenti total alias mandheg. Saya yang dari arah timur masih agak beruntung karena kepadatannya tidak seperti yang dari arah barat hingga saya dapat melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Kendaraan dari arah barat khususnya roda dua berusaha bergerak mencari celah diantara kemacetan yang terkadang membahayakan bagi pengendara lain. Saya menemui sebuah kendaraan roda empat yang mogok di tikungan jalan, sehingga sebuah bus dari arah barat sempat mengambil badan jalan lajur saya yang sempat akan menghantam kendaraan roda dua yang berusaha mencari celah, untunglah tidak terjadi petaka. Di daerah Genthong ini akhirnya kubertemu lajur baru yang terpisah sehingga bisa mengurangi kemacetan, tapi sayang lajur ini hanya beberapa ratus meter saja dan kembali bertemu dengan kendaraan dari arah barat. Kemacetan dari Genthong ini ternyata masih berlanjut hingga saya sampai pertigaan Limbangan (belok kiri menuju Garut, lurus ke Bandung). Jarak tempuh dari Ciawi ke Limbangan ini 34,8 km melewati Malangbong. Tidak melelahkan tapi justru menyenangkan karena bisa merasakan mudik bersama jutaan orang yang tumpek bleg di jalanan.
Selanjutnya sudah di depan mata pasti tidak jauh lagi sampai Bandung, tapi saya harus melewati jalanan yang sudah sangat terkenal yakni Nagrek. Benar selepas Limbangan ketemu Nagrek dimana arus kendaraan tidak berbeda seperti di Genthong macet total sesekali bergerak perlahan. Untungnya dari arah timur menggunakan jalur baru dengan tiga lajur yang mulus dan melewati terowongan dengan celah-celah terbuka saya dapat bergerak dengan kecepatan hingga 80 km/jam, dan sampailah Cicalengka. Rupanya saya salah memilih jalur lurus sehingga masuk jalan melalui depan pasar Cicalengka dan pas di depan kantor kecamatan Cicalengka jarak yang kutempuh dari Limbangan sejauh 19,7 km.
Berusaha mencari jalan utama akhirnya ketemu lagi dengan kendaraan dari arah timur. Jalanan sudah besar dengan tiga lajur namun karena banyak juga kendaraan lokal khususnya roda dua yang lalu lalang sehingga terkesan semrawut karena berusaha saling mendahului tanpa mempedulikan kendaraan lain. Sampai juga di Cileunyi dan ini merupakan pertemuan arus dari keluar tol dari arah Jakarta dengan arus dari arah Cirebon lewat Sumedang dan tentunya dari arah yang saya lewati yakni jalur selatan dari Yogyakarta/Tasikmalaya. Jarak tempuh dari depan kantor kecamatan Cicalengka hingga depan terminal Cileunyi sejauh 12,3 km.
Di depan jalan Percobaan Cileunyi kendaraan lokal juga memadati hingga sampai depan terminal Cicaheum yang kukira semula jarak Cileunyi-Cicaheum hanya 5 km ternyata jarak yang tercatat adalah 12,9 km.
Alhamdulillah, akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan saya ke depan pintu gerbang rumah di jalan Tamansari Bandung menjelang pukul 17.30. Jarak tempuh dari Cicaheum ke rumah sejauh 8 km. Dengan tidak terasa capek sedikitpun kecuali sebagian leher yang sedikit sulit ditolehkan saya mandi dengan dinginnya air kota Bandung. Setelah mandi dan rasa segar terasa di badan, leher yang sakit tadi sudah hilang, dan tak lama terdengar suara adzan maghrib. Langsung saja santap makan berbuka. Inilah untuk kedua kalinya saya berbuka puasa di rumah pada ramadhan 1434 H ini, karena hari-hari sebelumnya biasa berbuka di beberapa masjid di Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman, Maskam UGM, Mardliyah selatan RS Sardjito, Jogokaryan, dll) atau dapat undangan di tempat-tempat lain (rumah p.Agus Mulyanto desa Minomartani, rumah p.Ma'ruf Condong Catur, warung Bumbu Desa Jakal km 6, dan di rumah Qur'an utara masjid Nurul Asri Jakal km 5).


Sabtu, 19 Agustus 2017

MONUMEN SOCO KABUPATEN MAGETAN - JAWA TIMUR

Monumen Soco atau Tetenger Soco terletak di di desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Komplek Monumen Soco terdiri dari tiga bangunan utama, antara lain: Pendopo Loka Pitra Dharma, Gerbong Kerta Pati, dan Monumen/ Tetenger Soco.Monumen Soco diresmikan pada tahun 1989 oleh Ketua DPR RI M. Khasir Suhud. 

Monumen Soco didirikan untuk mengenang para pahlawan dan korban keganasan pemberontakan PKI tahun 1948. Seluruh korban berjumlah 108 orang. Monumen Soco didirikan di atas sumur bekas pembuangan mayat korban-korban keganasan PKI. Sebelumnya Para Korban diangkut dan disiksa di dalam gerbong kertapati, sehingga gebong ini turut dimonumenkan.

NAPAK TILAS JEJAK-JEJAK PERANG DIPONEGORO - JAWA TENGAH, D.I. YOGYAKARTA DAN JAWA TIMUR

Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830. Penyebab umum perang ini adalah terdapatnya rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Gambar 1. Relief perang Diponegoro di wisata Kyai Langgeng kota Magelang

Di bidang politik, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan intern keraton. Dengan seenaknya mereka memecat sultan atau pejabat lain yang tidak mereka sukai dan mengangkat orang-orang yang mereka senangi. Akibatnya, di lingkungan keraton muncul golongan yang pro-Belanda dan yang anti Belanda.
Berkembangnya budaya Barat di lingkungan keraton juga menimbulkan rasa tidak puas. Sebagian bangsawan terutama bangsawan golongan muda terpengaruh olehnya. Mereka sering mengadakan pesta sampai larut malam disertai dansa dan minuman keras. Para pemuka agama menganggap perbuatan itu tidak sesuai dengan ajaran agama. Bangsawan golongan tua menganggapnya dapat merusak nilai-nilai budaya tradisional.
Kebijakan yang menimbulkan rasa tidak puas yang luas ialah kebijakan di bidang ekonomi. Rasa tidak puas itu terdapat di kalangan penduduk biasa. Sebagian bangsawan pun memperlihatkan rasa tidak senang mereka.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo.

Gambar 2. Kraton Ngayogyokarta Hadiningrat di Yogyakarta

Konflik Pangeran Diponegoro dengan  Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan sarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.

Gambar 3. Bekas rumah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo Yogyakarta

Gambar 4. Tembok rumah yang tebal dijebol oleh pangeran Diponegoro saat dikepung Belanda

Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro beserta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.

Gambar 5. Goa Sriti di Samigaluh Kulonprogo

Setelah itu meneruskan ke arah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.


Gambar 6. Goa Selarong di Guwosari Pajangan Bantul

Kemudian, Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Dukungan juga datang dari Kyai Maja dan Nyi Ageng Serang.
Gambar 7. Makam Nyi Ageng Serang di Kalibawang Kulonprogo

Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.  Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata untuk mencari informasi guna menyusun setrategi perang.
 
Gambar 8. Makam pengikut Pangeran Diponegoro di Dekso Kulonprogo

Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awalnya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).

Gambar 9. Perbatasan Purworejo dan Magelang di Lowano, daerah perang Diponegoro

Perlawanan lalu berlanjut ke daerah lain: Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang. Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Gambar 10. Kompleks masjid pathok negoro Mlangi Sleman, sebagian makam pengikut Pangeran Diponegoro

Belanda kewalahan menghadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan strategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Belanda menerapkan setrategi Benteng Stelsel, benteng-benteng pertahanan  dibangun  dan  dijaga  terus-menerus  setelah   tentara   Belanda   berhasil menguasai daerah 
Gambar 11. Benteng Van den Bosch (benteng Pendem) di Ngawi

yang ditingalkan pasukan Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut, pasukan Diponegoro semakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima perangnya satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saat ia menerima tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan, Diponegoro langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir Perang Jawa. Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegoro merupakan pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam perang ini, banyak jatuh korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara itu ada 8000-an serdadu Belanda  tewas.

Gambar 12. Gedung tempat pangeran Diponegoro berunding dan ditangkap di Magelang

Dari cerita di atas sudah selayaknya kita bersyukur kepada Allah SWT, dan mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa !


Gambar 13. Monumen Pangeran Diponegoro di Alun-alun kota Magelang
 
Gambar 14. Replika prajurit Diponegoro di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

 








DE MATA KOTA YOGYAKARTA - DI YOGYAKARTA

De Mata adalah wisata foto 3 dimensi yang dapat digunakan untuk foto selfie. Lebih dari 120 gambar tiga dimensi tampak memenuhi dinding area Gedung Umar Kayam, Pasar Seni XT-Square, Yogyakarta. Gambar-gambar tiga dimensi ini menghuni labirin-labirin basement XT Square sejak Desember 2013. Sejak saat itu pula, ribuan pasang mata telah menikmati sensasi tipuan tiga dimensi yang mengagumkan dalam bingkai-bingkai foto yang mereka abadikan. Sepintas, tak ada yang berbeda antara gambar-gambar tersebut dengan gambar lain di luar sana. Namun, ketika Anda telah mengatur fokus kamera dan berpose sesuai dengan arahan, maka hasilnya pun mencengangkan. Anda seakan-akan sedang berada di suatu tempat, melakukan petualangan berbahaya ataupun bermain dengan beberapa figur ternama. Sebuah tipuan mata yang sempurna!


Jika pada umumnya kegiatan berkunjung ke museum hanya sebatas menikmati benda-benda bersejarah yang tersimpan di dalamnya saja, lain halnya De Mata Trick Eye Museum. Di museum ini, salah satu kegiatan yang wajib dilakukan pengunjung adalah berpose dan berfoto. Dengan berpose dan mengabadikannya dalam foto, maka kesan tiga dimensi tersebut tampak begitu jelas. Tak heran jika museum ini bagai surga bagi siapa saja yang suka bernarsis ria di depan kamera, tak peduli berapapun usia mereka.



Karena memang ditujukan untuk kegiatan berfoto, maka Anda tak perlu bingung harus bergaya seperti apa. Masing-masing gambar di museum ini memiliki sebuah foto kecil yang merupakan contoh pose yang harus dilakukan. Selain itu, beberapa properti penunjang pengambailan gambar, seperti bangku kecil atau tangga untuk mempertajam kesan tiga dimensi pun di sediakan. Jika lelah menjelajah tiap sisi museum dan berfoto dengan tiap gambarnya, Anda dapat beristirahat sejenak di kantin museum. Fasilitas Wi-Fi cuma-cuma yang disediakan akan mempermudah Anda ketika mengunggah foto-foto ke sosial media. Biarkan saja dunia tahu bahwa Anda sedang berlibur seru di Jogja. Nah, Anda sudah punya foto saat diberi setangkai mawar putih oleh Sri Sultan HB X atau menyundul bola yang dioperkan oleh Lionel Messi? Jika belum, cobalah kunjungi museum ini dan nikmati tipuan matanya.








DESA WISATA PUJON KIDUL KABUPATEN MALANG - JAWA TIMUR

Suasana khas pedesaan memang akan selalu menjadi daya tarik tersendiri. Indonesia, negara yang memiliki banyak sekali spot wisata beraroma khas pedesaan dan alam yang hijau. Tempat-tempat seperti inilah yang banyak orang butuhkan, terutama bagi mereka yang hari-harinya sibuk dengan kebisingan kota, maka wisata pedesaan yang adem ayem akan menjadi obat tersendiri.

Gambar 1. Gerbang desa wisata Pujon Kidul

Kota Malang yang merupakan kota yang memiliki berbagai macam keunikan destinasi wsiata, dan selalu menjadi incaran banyak wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain mempunyai beragam spot wisatanya yang indah, hawanya yang sejuk -karena terletak di dataran tinggi- dan yang paling utama adalah penduduknya yang ramah, tentu membuat siapa saja yang menginjakan kaki di Malang betah untuk berlama-lama. Salah satu wisata itu adalah Desa Wisata Pujon Kidul yang terletak sekitar 28 km barat kota Malang berada di kecamatan Pujon Kabupaten Malang.

Gambar 2. Salah satu sudut selatan desa wisata Pujon Kidul

Dengan udara yang dingin, tempat ini menyuguhkan banyak pemandangan alam. Pemandanganj alam itu berupa air terjun, puncak bukit, cafe sawah dan lain-lain.

Gambar 3. Puncak ketinggian bukit Amping

Gambar 4. Di samping Cafe Sawah




MASJID CHENG HOO PANDAAN KABUPATEN PASURUAN - JAWA TIMUR

Masjid yang berletak di Jl. Raya Kasri ini adalah salah satu daya tarik kota Pandaan. Menjadi salah satu iKon dan menjadi sarana ibadah sekaligus tempat wisata bagi pengunjung luar kota.
Masjid berarsitektur Cina yang diresmikan pada tgl 27 Januari 2008 oleh Bupati H. Jusbakir Aldjufri SH.MM, Sedangkan peletakan batu pertama dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 30 Mei 2004. Sebelumnya merupakan tanah kosong milik perhutani yang kemudian dikelola menjadi Masjid yang menelan biaya hingga Rp. 3,2 Milyar lebih.


Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 6.000 meter persegi. Dengan luas bangunan masjid 550 meter persegi. Masjid ini terdapat dua lantai. Lantai bawah seluas 529 meter persegi bakal ditempati perpustakaan, akad nikah dan acara seremonial religi lainnya. Sejak habisnya masa jabatan Bupati Jusbakir, masjid ini sekarang dikelola oleh ketakmiran masjid sebagai penanggung jawab.
Pada tahun 1405, delapan puluh tujuh tahun lebih sebelum penjelajahan Columbus, seorang pelaut Muslim China, laksamana Zheng He atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Cheng Ho telah lebih dahulu mengarungi lautan dunia dengan jarak tempuh yang lebih panjang dan lebih luas dibanding seorang penjajah Colombus. Kapal yang digunakan Cheng Ho dengan panjang 400 kaki adalah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kapal Columbus yang panjangnya hanya 85 kaki.
Cheng Ho melakukan penjelajahan dunia sebanyak tujuh kali dari tahun 1405 sampai 1433. Kapal-kapal Cheng Ho mengunjungi Nusantara, Thailand, India, Arabia, dan Afrika Timur. Bahkan ada beberapa spekulasi yang memperkirakan perjalanan kapal Cheng Ho jauh melampaui Semenanjung Harapan Afrika Selatan. Bahkan ahli sejarah Gavin Menzies memperkirakan bahwa Cheng Ho juga mencapai benua Amerika, meskipun banyak diragukan ahli lain karena dugaan Menzies kurang didukung bukti-bukti sejarah yang meyakinkan.


Penjelajahan Cheng Ho bukanlah suatu upaya untuk melakukan penaklukan atau penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain oleh bangsa China. Perjalanan Cheng Ho lebih merupakan upaya untuk mengenal bangsa-bangsa lain dan juga untuk menjajagi kemungkinan untuk kerjasama perdagangan dan ekonomi dengan bangsa-bangsa lain. Cheng Ho membawakan kepada bangsa lain hadiah-hadiah seperti emas, perak, porselin, dan sutera; sebagai imbalannya Cheng Ho membawa pulang ke negaranya binatang-binatang yang tidak ada di negaranya seperti burung unta, zebra, unta, dan jerapah, dan juga membawa pulang gading gajah.
Laksamana Cheng Ho beragama Islam, dia seorang muslim. Profesor HAMKA menilai Cheng Ho punya andil dalam memperkuat penyebaran Islam di Nusantara. Slamet Muljana menulis bahwa Cheng Ho membentuk komunitas muslim di Palembang, kemudian di Kalimantan Barat, dan kemudian juga membentuk berbagai komunitas serupa di pesisir Jawa, semenanjung Malaysia dan Pilipina. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Zheng_He).
Sayangnya penjelajahan Cheng Ho tidak setenar penjelajahan Columbus. Penulisan buku sejarah tentang Cheng Ho juga sangat jarang. Jika sejarah tentang Columbus diajarkan dalam mata pelajaran sejarah dunia di semua sekolah, tidak demikian dengan sejarah Cheng Ho. Padahal penjelajahan Cheng Ho memberikan pelajaran berharga tentang hubungan antar bangsa di dunia. Perjalanan dan penjelajahan Cheng Ho tidak berlanjut dengan pendudukan, penjajahan dan pemusnahan penduduk asli dari wilayah yang dikunjunginya. Kita bisa merasakan banyak pengaruh budaya China di banyak negara terutama di benua Asia. Tapi pengaruh budaya itu bukan pengaruh yang meniadakan budaya lain, tetapi justru memperkaya budaya-budaya asli setempat.
Serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande pada 1426-1435) ke beberapa daerah dan negara di Asia dan Afrika, di antaranya Vietnam, Taiwan, Malaka/bagian dari Malaysia, Sumatra/bagian dari Indonesia, Jawa/bagian dari Indonesia, Sri Lanka, India bagian Selatan, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah, ke utara hingga Mesir, Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik.
Dalam khazanah keislaman, kehadiran Cheng Ho di Indonesia telah memunculkan wacana baru studi keislaman Indonesia. Cheng Ho berperan besar dalam pergolakan politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Setidaknya, Cheng Ho memiliki andil besar dalam meruntuhkan Majapahit, Kerajaan Hindu terbesar dan berperan dalam membangun kerajaan Islam Demak pada tahun 1475.

Sejak digarap serius oleh Pemkab Pasuruan, Wisata masjid Cheng Ho makin ramai wisatawan. Di akhir pekan, bisa sampai 200 bus datang ke sana untuk melihat masjid yang unik sekaligus belanja aneka buahan segar.

Tidak hanya wisata alam yang eksotik seperti kawasan Penanjakan untuk menyaksikan sunrise dan Gunung Bromo, Kabupaten Pasuruan juga mempunyai wisata religi yang terintegrasi dengan wisata kuliner. Lokasi wisata itu yakni, Wisata Masjid Cheng Ho yang ada di Kecamatan Pandaan. Setiap hari kawasan wisata yang baru dibangun oleh Bupati Irsyad Yusuf banyak menjadi jujugaan maupun tempat transit wisatawan.

Menurut Camat Pandaan, Suwito Adi sebelum terintegarsi secara meneyluruh wisata religi Masjid Cheng Ho sepi dari pengunjung. Kawasan Pasar buah yang menjual hasil dari Kabupaten Pasuruan juga terlihat kumuh dan kotor. Namun, pemandangan tidak sedap itu mulai tertata dan diintegrasikan dengan Masjid Cheng Ho.

"Sejak kepemimpinan Gus Irsyad (Bupati Pasuruan) kawasan ini mulai dikunjungi masyarakat. Ada yang salat atau istirahat hingga berbelanja oleh oleh buah buahan atau produk UMKM," katanya pada detikTravel, Senin (8/8/2016).

Sejak dibangun menjadi kawasan wisata yang teintegrasi 2014 lalu, pengunjung wisata Masjid Cheng Ho makin membludak. Lahan parkir yang luas maupun penataan sentra pedagang buah semakin tertib dan bersih.

Sentra pedagang buah yang nyaman dikunjungi (Zaenal Effendi/detikTravel)

"Ramainya tidak hanya akhir pekan. Hari biasa juga ramai terlihat dari jumlah bus yang mencapai 50 bus untuk hari biasa dan sekitar 200 an bus di akhir pekan, itu belum kendaraan pribadi," ungkap dia.

Gus Irsyad sapaan akrab Bupati Pasuruan mengatakan saat ini yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah mengubah image masyarakat yang menganggap kawasan Pandaan masuk wilayah Kabupaten Malang.

"Dengan adanya Jelajah Wisata bersama komunitas yang berasal dari berbaai latar belakang mulai pelaku hotel, media serta netizen bisa merubah image itu dan meramaikan wisata di Kabupaten Pasuruan," ungkap Gus Irsyad.

Gus Irsyad yang juga adik kandung dari Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf berharap baik wisata alam yang alami maupun buatan serta wisata agro yang dimiliki Kabupaten Pasuruan bisa dikenal masyarakat di Jawa Timur dan Indonesia.

Sebelumnya, puluhan anggota Komunitas BicaraSurabaya melakoni Jelajah Wisata Kabupaten Pasuruan yang didiukung Pemkab Pasuruan. Selama dua hari, anggota komunitas diajak menyaksukan Kebun Pembibitan Kentang dan Ladang Gandum di Desa Ngadiwono, Tosari.

Tak hanya itu, Gus Irsyad juga mendorong komunitas tersebut untuk yang menikmati sunrise dan Gunung Bromo dari Pegunungan Penanjakan. "Penanjakan itu masuk Kabupaten Pasuruan dan spot paling terkeren menikmati Bromo," kata Gus Irsyad saat menerima kedatangan Komunitas BicaraSurabaya pada Sabtu (6/8/2016) pagi kemarin.

Tidak berhenti disitu, para komunitas juga ditunjukkan wisata keluarga yakni Saigon Water Park yang memiliki fasilitas waterpark yang dilengkapi dengan pesawat boeng 737-400 dan kolam renang olympic size yang dilanjutkan berkunjung ke Taman Safari II dan berakhir dengan wisata Masjid Cheng Ho serta ditutup dengan makan malam kepiting Cak Gundul di Pandaan.

PEMANDIAN TASNAN KABUPATEN BONDOWOSO - JAWA TIMUR

Wisata Pemandian Tasnan, adalah salah satu tempat wisata pemandian , yang berada di desa Taman , kecamatan Grujugan , kabupaten Bondowoso. Wisata Pemandian Tasnan Bondowoso , adalah Tempat wisata yang ramai wisatawan pada hari hari biasa maupun pada weekand atau hari libur. Tempat sangat indah dan bisa memberikan suasana yang menghibur kejenuhan akan aktivitas kita sehari hari.


Wisata Pemandian Tasnan Bondowoso , sangat cocok untuk mengisi kegiatan liburan anda, apalagi saat liburan panjang seperti libur nasional, Hari libur Lebaran, Hari libur Kemerdekaan, Hari libur idul adha, Hari libur idul fitri, Hari libur tahun baru, Keindahan  Wisata Pemandian Tasnan Bondowoso ,  ini sangatlah cocok bagi anda semua yang berada di dekat atau di kejauhan untuk merapat menggunjungi tempat  Wisata Pemandian Tasnan Bondowoso 
 

Pemandian ini merupakan pemandian yang alami ,Pemandian Tasnan sudah berdiri sejak jaman Belanda, dan merupakan sarana peristirahatan pihak Belanda waktu itu. Dengan suasana yang hijau dikelilingi hutan pinus, pemandian ini patut untuk terus dilestarikan dan layak untuk dikunjungi. Ditambah lagi, tidak jauh dari lokasi pemandian, terdapat situs megalitikum, peninggalan jaman Pra-sejarah sebagai lokasi rekreasi dan edukasi keluarga .berwisata ke pemandian tasnan ini sangat menyenangkan, airnya yang bersih segar dan udara yang sejuk akan membuat berenang anda menyenangkan

MASJID AL-JABBAR KOTA BANDUNG - JAWA BARAT

Masjid Raya Al Jabbar terletak di kecamatan Gedebage kota Bandung berjarak sekitar 2 km tenggara Stasiun Gedebage Bandung. Masjid iini mulai...