Senin, 30 Oktober 2017

MENJELAJAH JALAN DAENDELS DARI ANYER (BANTEN) SAMPAI PANARUKAN (JAWA TIMUR)

Sebelum saya menceritakan perjalanan saya menjelajah jalan Daendels dari Anyer di kabupaten Serang provinsi Banten hingga Panarukan di kabupaten Situbondo provinsi Jawa Timur sejauh 1.000 km, saya terlebih dahulu menceritakan sejarah singkat pembuatan jalan Daendels. Baik, saya awali dengan mengucap Bismillahirohmanirohim.
Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (Daendels) dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa. Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum bisa ditaklukkan Perancis saat itu. Pada tanggal 28 Januari 1807, Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte.
Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Memerintah hingga 1811, Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan tangan besinya telah banyak membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan. Pembangunan monumental dan kebijakan krusial salah satunya adalah pembangunan jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai seribu kilometer yang menyusuri pantai utara pulau Jawa.
Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Mereka yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Pekerjaan berat ini menelan belasan ribu korban jiwa dari orang-orang bumiputra yang dijadikan sebagai pekerja paksa tanpa dibayar atau dibayar tetapi tidak layak. Pembangunan jalan Anyer-Panarukan  yang hanya setahun (1808-1809) bisa dikata satu rekor dunia pada masanya.
Karena bersamaan dengan saat pembangunan jalan raya, Daendels juga mendirikan jasa pos dan telegraf, sehingga dikenalah juga jalan ini sebagai Jalan Raya Pos (De Groote Postweg). Pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter ditanami pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap terpelihara dan terjaga. Pada awalnya, setiap 4,5 kilometer jalan ini didirikan pos penjagaan sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. Jalan ini digunakan sejak tahun 1809, yang niatannya dibangun untuk tujuan militer ini, akhirnya berkembang menjadi prasarana perhubungan yang sangat penting di Pulau Jawa. Jalan ini mempersingkat waktu tempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa dipersingkat menjadi tujuh hari,  pengiriman pos Batavia-Semarang hanya memerlukan sekitar lima hari, sebelumnya memakan 14 hari di musim kemarau atau tiga minggu sampai sebulan di musim hujan.
Daendels telah memerintahkan pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan yang jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000 kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed = 3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter. Setiap 400 roed (1 roed = 14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal). Setiap jarak 30-40 km terdapat Gardu Pos untuk menggantikan kuda yang membawa Kereta-Pos. Lama-kelamaan di sekitar gardu Pos terbentuk desa atau kota. Dulu sebetulnya hanya tempat kandang kuda kereta pos, sehingga pengiriman Pos terus berjalan sampai di tujuan. Sekarang jika diperhatikan jarak antara tiap kota sepanjang Pantura sekitar 30-40km. Sebagian jalur Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Daendels merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung saat menyerang Batavia tahun 1628 dan 1630. Jalan Raya Pos menghubungkan kota-kota berikut: Anyer- Serang- Tangerang- Jakarta- Bogor- Sukabumi- Cianjur- Bandung- Sumedang- Cirebon- Brebes- Tegal- Pemalang- Pekalongan- Kendal- Semarang- Demak- Kudus- Rembang- Tuban- Gresik- Surabaya- Sidoarjo- Pasuruan- Probolinggo- Panarukan.

                        Gambar. Peta jalur Daendels dari Anyer sampai Panarukan

Kilomener Nol jalan Daendels dari Anyer sampai Panarukan berada di sebelah mercusuar Cikoneng.  Di sekitar Mencusuar Anyer yang terletak di Anyer Kidul, Desa Cikoneng Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, kabupaten Serang, provinsi Banten, terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Dari Anyer ke Batavia, Daendels menempuh perjalanan selama empat hari. Pada musim hujan, jalan-jalan itu tidak layak dilewati. Sementara jalur laut tidak mungkin dilaluinya karena ancaman armada Inggris yang sudah mengepung pulau Jawa. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya, sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari. Pekerjaan ini mudah saja karena medannya datar.
Pembuatan jalan rute Batavia-Banten tahap pertama dilaksanakan Daendels pada tahun 1808-1809. Awalnya saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tanpa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.
Dari hasil pemantauannya, Daendels mendapati jalan yang ada antara Bogor-Cirebon hanya sebatas jalan kecil dan tidak memungkinkan untuk pengangkutan komoditas dalam jumlah besar. Dia kemudian menugaskan komandan pasukan zeni Kolonel von Lutzow untuk melakukan pemetaan jalur Bogor-Cirebon. Hasilnya, jalur pembangunan Bogor-Cirebon yang akan ditempuh: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamanadala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, dan Sumedang-Karangsembung. Sebagian besar proyek pembangunan jalan raya ini ditujukan untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada.  Pada pembangunan jalan Bogor – Cirebon, rincian pekerja untuk pembangunan jalan Bogor-Cirebon antara lain Cisarua-Cianjur (400 orang), Cianjur-Rajamandala (150 orang), Rajamanadala-Bandung (200 orang), Bandung-Parakanmuncang (50 orang), Parakanmuncang-Sumedang (150 orang), dan Sumedang-Karangsembung (150 orang). Perbedaan jumlah pekerja tersebut disesuaikan dengan panjangnya jalan dan beratnya medan.
Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km, pada 25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini. Untuk membangun jalan dari Cisarua, Bogor sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000 ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar. Pemberian upah didasarkan pada beratnya lokasi yang ditempuh seperti batuan padas, hutan lebat, lereng bukit atau gunung, keterjalan lokasi dan sebagainya.
Sampai di kota Sumedang pembangunan jalan harus melalui daerah yang sangat berat ditembus, di daerah Ciherang Sumedang, yang kini dikenal dengan nama Cadas Pangeran. Di sini para pekerja paksa harus memotong pegunungan dengan peralatan sederhana, seperti kampak, dan lain-lain. Dengan medan yang demikian beratnya untuk pertama kalinya ada angka jumlah korban yang jatuh mencapai 5000 orang. Mereka yang meninggal karena bekerja terlalu berat dan tidak diberi makan maupun istirahat. Wilayah tersebut merupakan hutan belantara dengan tebing-tebing yang curam. Mereka bekerja di medan yang sangat berat namun dengan alat yang seadanya. Para pribumi yang menentang melakukan perlawanan kepada penjajah, namun karena kekuatan yang tidak seimbang, akibatnya tidak sedikit pribumi yang meninggal akibat perlawanan tersebut. Jalan tersebut sekarang dikenal dengan nama Jalan Cadas Pangeran. Jalan ini menghubungkan Bandung dan Cirebon. Penguasa daerah Sumedang pada saat itu Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828 ) yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel memprotes Daendels atas kesemena-menaan dalam pembangunan jalan itu dengan jalan membalas jabat tangan Daendels dengan tangan kiri.
Ketika pembangunan jalan sampai di daerah Semarang, Daendels mencoba menghubungkan Semarang dengan Demak. Kembali medan yang sulit menghadang. Bukan hanya karena tanahnya tertutup oleh rawa-rawa pantai, juga karena sebagian daripadanya adalah laut pedalaman atau teluk-teluk dangkal. Untuk itu kerja pengerukan rawa menjadi hal utama. Para pakerja paksa harus bekerja dengan ekstra berat, karena wilayah tersebut merupakan daerah rawa-rawa, mau tidak mau harus dilakukan pengurugan. Sebanyak 3000 jiwa korban yang meninggal saat pengerjaan ruas penghubung Semarang-Demak. Penyebab meninggalnya para pekerja di daerah ini dikarenakan mereka bekerja terlalu berat tanpa asupan makanan yang mencukupi dan juga serangan penyakit seperti malaria.
Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya ke wilayah Ujung Timur (Oosthoek) yang merupakan daerah potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemukinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808. Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan.  Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.
Nah, sekarang saatnya saya menyampaikan laporan perjalanan Menjelajah Jalan Daendels dari Anyer sampai Panarukan sejauh kurang lebih seribu kilometer. Tentunya saya tidak melakukan perjalanan sekaligus satu kali waktu perjalanan selesai, tetapi dalam waktu kadang terpaut lama mengingat saya harus mencari hari libur supaya tidak mengganggu pekerjaan utama saya sebagai pegawai negeri. Di sepanjang perjalanan, saya sering berhenti di suatu tempat untuk melihat-lihat keadaan di sana. Perjalanan saya awali dari titik kilometer nol di Anyer tepatnya di mercusuar Cikoneng pantai Anyer di kabupaten Serang provinsi Banten. Mercusuar yang lama pernah roboh tahun 1883 terkena tsunami ketika gunung Krakatau meletus. Namun, tahun 1885 dibangun kembali oleh Belanda.

Gambar. Menara Cikoneng Anyer Banten

Gambar. Memasuki gerbang tol Cilegon Barat

Perjalanan saya lanjutkan hingga tibalah di kota Serang, yang merupakan ibukota provinsi Banten. Provinsi Banten ini masih relativ muda hasil pemekaran provinsi Jawa Barat. Pusat pemerintahan provinsi awalnya di sekitar Alun-alun kota Serang, kini sudah dipindah ke pinggiran. Saya sempat istirahat di depan kantor gubernur, berkunjung ke masjid Agung Banten, istana Sorosowan, museum Kepurbakalaan Banten Lama dan masjid Agung Serang.
 
                                              Gambar. Alun-alun kota Serang provinsi Banten
 

Gambar. Pusat Pemerintahan Provinsi Banten di pinggiran kota Serang

Gambar. Di atas sisa-sisa istana Surosowan Banten Lama yang dihancurkan Belanda

Perjalanan saya lanjutkan ke kota Bogor yang berjarak sekitar 60 km utara Batavia. Jalan Daendels setelah Batavia berganti arah ke selatan melewati Bogor - Cianjur - Bandung.
 
Gambar. Jalan Pajajaran samping Kebun Raya Bogor di Paledang kota Bogor

Sampailah saya di kota Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat. Sungguh suatu kota yang sejuk, Bandung mendapat julukan kota Kembang dan juga Paris van Java. Daendels menancapkan patok Bandung KM 0 yang sekarang ada di jalan Asia Afrika.

Gambar. Di sini, Daendels menancapkan pathok Bandung KM 0

Gambar. Prasasti Bandoeng KM 0

Dari Bandung perjalanan dilanjutkan ke kabupaten Sumedang. Salah satu jalur tersulit dalam pembuatan jalan Anyer-Panarukan ada di antara Bandung - Sumedang yang dinamakan Cadas Pangeran yang berada di kecamatan Pamulihan kabupaten Sumedang.
 
Gambar. Jalur Bandung-Sumedang di Cadas Pangeran
 
Gambar. Cadas Pangeran kabupaten Sumedang
 
Perjalanan dilanjutkan ke kabupaten Brebes provinsi Jawa Tengah. Brebes sudah lama terkenal dengan telor asinnya. Wah rasanya rugi kalo tidak mencicipi telor asin, juga sate kambingnya, mak nyusss....Saya sempat merasakan sate kambing di suatu rumah makan di wilayah kecamatan Tanjung kabupaten Brebes. Mantap sekali sate kambingnya, besar dan lemaknya yang manis.

Gambar. Di suatu rumah makan di wilayah kecamatan Tanjung kabupaten Brebes Jawa Tengah

Sekarang tiba di kota Semarang, ibukota provinsi Jawa Tengah. Kota yang ramai dengan banyak peninggalan gedung-gedung tua. Salah satunya Lawang Sewu.

Gambar. Lawang Sewu kota Semarang
 
Dari Jawa Tengah sampailah masuk di Jawa Timur, tepatnya di kabupaten Tuban. 

Gambar. Di pantai pinggiran jalan Daendels kota Tuban saat pagi hari.

Setelah melewati kabupaten Gresik, sampailah di ibukota provinsi jawa Timur, yakni kota Surabaya.

Gambar. Pintu gerbang kota Surabaya dari arah Gresik
 
Meninggalkan kota Surabaya, bergeser ke selatan sampailah di perbatasan kota Surabaya dengan kabupaten Sidoarjo di kecamatan Waru Sidoarjo. 
 
 Gambar. Perbatasan Surabaya dan Sidoarjo di Waru
 

Gambar. Jalan Daendels ruas Sidoarjo - Pasuruan dilihat dari atas tanggul Lapindo
 
Keluar kabupaten Sidoarjo selanjutnya memasuki kabupaten pasuruan setelah melewati kali Porong yang lebar. Sampailah di kecamatan Gempol dan ke timur lagi tiba di kota Bangil yang mendapat sebutan Bang Kodir (Bangil Kota Bordir) 
 
Gambar. Gerbang kota Bangil sisi barat
 
Dari Bangil 15 km ke arah timur tibalah di kota Pasuruan.
Gambar. Masjid Al Anwar kota Pasuruan
 
 
Gambar. Ada kereta keluar jalur di sebelah utara jalan Daendels kecamatan Rejoso kabupaten Pasuruan

Perjalanan dilanjutkan ke kota angin gending dan kota mangga dan anggur, yakni kota Probolinggo.

Gambar. Jalan Daendels di sekitar Alun-alun kota Probolinggo

Gambar. Di pantai Pasir Putih kabupaten Situbondo, 100 meter utara jalan Daendels 
 
 
Akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan saya finish di KM 1000 jalan poros Daendels Anyer-Panarukan. Terima kasih yaa Allah.

Gambar. Finish di ujung jalan Daendels km 1000 di Panarukan Situbondo

Minggu, 22 Oktober 2017

BATU SO'ON STONEHENGE KABUPATEN BONDOWOSO - JAWA TIMUR

Betoh So'on merupakan batu unik yang terletak di Desa Solor, kecamatan Cermee,kabupaten Bondowoso, Jawa Timur berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Bondowoso. Tempat ini memang sangat cocok digunakan untuk kamu pecinta alam. Bagi kamu yang ingin berlibur bersama keluarga dan ingin melihat keindahan dari Batu So'on ini, coba deh berkunjung ke tempat wisata yang satu ini dengan pemandangan dari atas bukit di Batu So'on ini sangat indah.


Batu So'on sendiri memang mirip dengan Stonehenge di Inggris. Di sini kamu bisa melihat keindahan di kawasan Batu So'on tersebut dan juga kamu bisa mencari berbagai spot foto yang cocok dengan seleramu, bagi kamu yang penasaran, langsung aja deh pergi ke tempat wisata yang satu ini.


Selain itu di Batu So'on ini juga memiliki pemandangan yang sangat indah, maka tak heran jika tempat wisata yang satu ini selalu ramai dikunjungi pendaki dan pelancong saat liburan. Pokoknya tempat wisata yang satu ini sangat recommended banget deh buat kamu yang ingin berkumpul bersama keluarga. Jika kamu yang ingin berkunjung ke tempat wisata yang satu ini kamu harus tahu dong beberapa spot foto yang dapat menghasilkan foto yang bagus dan keren. Kamu bisa berfoto di kawasan Batu So'on ini, lalu kamu juga bisa mengambil beberapa foto saat kamu berada di depan batu tersebut. Selain itu kamu juga bisa mengambil foto bersama keluarga dengan latar belakang pemandangan yang indah di tempat wisata ini.Waktu yang bagus berkunjung ke tempat ini adalah saat pagi hari sebelum jam 11.00 karena tidak melawan sinar matahari.


Bagi kamu yang ingin pergi ke tempat wisata yang satu ini, kamu harus mengetahui akses jalan kesana, untuk akses jalan ke Batu So'on tersebut kamu cukup melewati jalur utama dari Bondowoso menuju Situbondo. Kurang lebih 8 km sebelum Situbondo, kendaraan bisa dibelokkan ke kanan masuk kota kecamatan Cermee dan ikuti saja petunjuk menuju Batu So'on. Hingga saat ini jalan menuju ke sana sudah diaspal, tetapi sebagian kecil saya merasakan jalan makadam.

Untuk masuk ke tempat ini cukup merogoh kocek rp 5.000.






Rabu, 11 Oktober 2017

RANU KLAKAH DAN RANU PAKIS KABUPATEN LUMAJANG - JAWA TIMUR

Ranu atau danau yang terletak di kecamatan Klakah kabupaten Lumajang yang terkenal ada tiga, yaitu Ranu Klakah, Ranu Bedali dan Ranu Pakis. Kali ini kami hanya mengunjungi dua ranu saja yakni Ranu Klakah dan Ranu Pakis. 
Gamba 1. Ranu Pakis

Ranu Klakah dan Ranu Pakis berada di lereng Gunung Lamongan (tinggi puncak gunung Lamongan 1.668 mdpl). Gunung Lamongan yang merupakan gunung berapi tipe maar (istirahat) di Jawa Timur yang dikelilingi oleh 27 gunung berapi maar diman garis tengahnya berkisar antara150-700 meter. Beberapa maar mempunyai danu yang diantaranya Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali.
Letak Ranu Klakah sekitar 2,5 km dari stasiun Klakah, sedangkan Ranu Pakis berada sekitar 1 km dari Ranu Klakah. Disini anda bisa menikmati berbagai sarana wisata seperti, speedboat, kano, jet sky, perahu angsa, rakit bambu tradisional, area pemancingan.

Gambar 2. Ranu Klakah

Dan anda pun dapat mecicipi santap pagi di warung-warung sepanjang bibir danau yang menjajakan berbagai macam menu ikan yang diolah sesuai pilihan anda. Usai mencicipi santap pagi, cobalah berkunjung ke Ranu Pakis. Landskap yang hampir sama dengan Ranu Klakah, bagan-bagan apung tempat budidaya ikan air tawar dan anda bisa berinteraksi oleh para nelayan secara dekat disini.

Selasa, 26 September 2017

PANTAI WATU ULO KABUPATEN JEMBER - JAWA TIMUR

Pantai Watu Ulo, terletak di desa Sumberejo, kecamatan Ambulu, sekitar 40 Km sebelah selatan kota Jember atau 13 km selatan kota kecamatan Ambulu. Disebut  "Watu Ulo" berarti "batu ular" dalam bahasa Jawa. Nama ini mengacu pada rangkaian batu karang yang memanjang dari pesisir pantai ke laut. Di pantai ini terdapat aneka penjualan kerajinan dari laut seperti karang, bekas rumah kecomang dan lain - lain.

Pantai ini banyak dikunjungi saat hari libur ataupun hari biasa. Dengan keindahan pantai dan alam sekitar pantai membuar pantai ini terkenal di kawasan Jember. Di sekitar pantai, pengunjung yang datang juga bisa melihat beberapa spot wisata yang lain, seperti, goa Jepang, Goa Kelelawar dan beberapa fasilitas pendukung seperti taman bermain dan area berkemah.
Pantai Watu Ulo diapit oleh dua pantai lain yang juga sudah terkenal namanya, yakni di sebelah barat ada pantai Tanjung Papuma berjarak sekitar 1 km dari Watu Ulo dan di sebelah timur ada pantai Payangan berjarak sekitar 1,5 km dari Watu Ulo.

Selasa, 22 Agustus 2017

CATATAN PERJALANAN SEORANG MUDIKER (YOGYAKARTA - BANDUNG PP)

Ini merupakan catatan perjalanan saya saat mudik ke Bandung pada lebaran tahun 2013 lalu. Jangan memaksakan diri membaca tulisan ini kalo tidak punya waktu yang cukup apalagi kalo kepepet. Siapapun boleh membaca tulisan ini asalkan bisa menambah wawasan apalagi bisa bermanfaat baik untuk diri maupun orang lain, weleh-weleh...

Jika dilihat di peta, jarak Yogyakarta ke Bandung sekitar lebih panjang sedikit dari sepertiga panjang pulau Jawa (saya ukur di atlas milik anak saya, panjang pulau Jawa 25 cm dengan skala 1 : 4.000.000 yang artinya panjang pulau Jawa sesungguhnya 1000 km). Namun karena jalan yang menghubungkan Yogya-Bandung adalah jalan aspal yang tidak lurus, perkiraan saya jarak Yogyakarta-Bandung sekitar 413 km (sudah biasa orang Matematika taksirannya harus akurat). Ini saya katakan perjalanan jarak menengah (saya menggolongkan sendiri istilah jarak tempuh perjalanan darat, jarak dekat jika kurang dari 100 km, jarak menengah jika antara 100 - 500 km dan jarak jauh jika lebih dari 500 km). Tidak terlalu jauh jika dibandingkan jarak Jember-Langkat-Banda Aceh ribuan kilometer yang pernah ditempuh oleh kolega saya pak Rusli dan keluarga dan juga tidak terlalu dekat jika dibandingkan jarak Jember-Bondowoso 33 km yang sering dilakukan pak Kiswara yang sebenarnya bisa cukup jalan kaki saja (maklumlah dulu sewaktu tinggal di Jember, saya hampir tiap tahun ikut jalan kaki TaJemTra Tanggul-Jember Tradisional sejauh 30 km). Tapi perjalanan mudik kali ini berbeda dengan perjalanan sebelum-sebelumnya dimana saya sering dari Yogyakarta-Malang yang berjarak 320 km yang sudah saya lakukan "triliunan" kali (begitu kata Mr. Tukul kalo mengatakan saking seringnya). Disamping itu daya jangkau jarak tempuh saya hanya maksimal 400 km sehari karena saya selalu menghindari perjalanan malam hari karena kurang awas. Pernah sekali jarak tempuh sampai 410 km dari Malang ke Jogja lewat Malang-Donomulyo-Lodoyo-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Pracimantoro-Wonosari-Jogja, untuk mendaftarkan sekolah anak saya yang mau masuk SD di Yogyakarta.

Gambar 1. Peta pulau Jawa

Perjalanan mudik Lebaran 1434 H (2013) ini menggunakan dana murni dari kantong sendiri yang insyaAllah halal tidak dibumbui hasil korupsi, ngenthit atau minta-minta, dll, ...he..he..he. Tepat selepas sahur dan sholat subuh berjamaah di masjid Sirothol Mustaqim Karangjati Sinduadi Mlati Sleman juga kultum (kuliah tujuh belas menit, bukan kuliah tujuh menit karena penceramah lupa waktu) tanggal 4 Agustus 2013 pukul 05.47 waktu Yogyakarta saya memulai berangkat dengan kondisi cuaca yang agak dingin (berbeda dengan sebelum-sebelumnya, udara kota Yogyakarta beberapa hari terakhir tembus dibawah 20 derajat C ini hasil catatan BMKG bukan saya mengada-ada lho).
Dari Jogja ke Wates (ibukota kab. Kulonprogo) jalanan sudah kelihatan cukup ramai, mungkin orang-orang memanfaatkan berangkat pagi dikira jalanan masih sepi. Dari arus berlawanan kendaraan-kendaraan berplat nomor luar Jogja sudah mendominasi khususnya plat nomor B. Dari rumah sampai monumen Nyi Ageng Serang di Wates, jarak yang telah ditempuh sejauh 32,0 km dengan jalanan yang mulus terlihat kalo baru dihotmix oleh PU Bina Marga (maklum jalan yang akan saya lewati dari Yogyakarta ke Bandung adalah jalan nasional, saya ogah menggunakan jalan alternatif karena ini perjalanan pertama saya menggunakan kendaraan sendiri dan saya khawatir tersesat seperti pengalaman empat tahun silam mau nyemplung ke laut di pantai selatan perbatasan kabupaten Wonogiri dan kabupaten Pacitan atau saat dari Munjungan-Watulimo kabupaten Trenggalek yang berjarak sekitar 20 km hanya berpapasan dengan dua kendaraan saking sepinya).
Perjalanan selanjutnya menuju Purworejo dan Kutoarjo. Ingat Purworejo jadi ingat beberapa pahlawan kita yang banyak lahir di daerah ini. Sebelum masuk kabupaten Purworejo, gerbang gapura provinsi Jawa Tengah seakan-akan memberikan ucapan selamat datang bagiku. Dari Wates sampai perbatasan provinsi Jawa Tengah dan kecamatan Bagelen Purworejo jalanan sangat mulus, tetapi setelah itu ketemu aspal lama dengan jalan yang bertambal sulam hingga ketemu pertigaan by pass (jalan tembus yang tidak masuk kota Purworejo). By pass Purworejo kelihatan sudah mulus tidak seperti yang pernah saya lewati dua tahun lalu banyak "kolam ikan" sehingga harus pintar-pintar berslalom ria. Sampailah ke Kutoarjo kota kecamatan yang bolah dikatakan ramai seperti kota kecamatan Tanggul di kabupaten Jember. Dari Wates hingga Kutoarjo jarak tempuhnya 42,5 km.

Gambar 2, Gerbang provinsi Jawa Tengah di kab. Kulonprogo - kab. Purworejo

Kota selanjutnya yang dituju adalah Kebumen dimana banyak orang sudah tahu kalo kabupaten Kebumen terkenal dengan penghasil sarang burung walet, sehingga tidak jarang kita temui di kabupaten ini terdapat relief, patung atau logo yang bergambar burung walet. Keluar dari Kutoarjo jalanan sudah terlihat semakin ramai khususnya dari arah barat ke timur. Kalo diperhatikan kendaraan-kendaraan yang datang dari arah barat berplat nomor B dan D juga kadang-kadang terlihat plat nomor T, Z, F, E, G dan R dan tentunya kendaraan lokal yang berplat nomor AA (Kedu yang meliputi kab/kota Magelang, kab. Temanggung, Wonosobo, Purworejo dan Kebumen). Sepanjang jalan dari Kutoarjo ke Kebumen banyak dijumpai penjual es dawet ireng (hitam) yang merupakan minuman khas dari kecamatan Butuh Purworejo, jadinya agak ngiler lihat dawet tapi berhubung sedang puasa kucoba lupakan itu dengan catatan nanti kalo balik akan "balas dendam" harus mampir ke warung dawet ireng. Sampai di depan terminal Kebumen (maaf gak bisa masuk Kebumen kota karena digiring polisi agar pemudik tidak lewat kota) jarak yang tercatat dari Kutoarjo-Kebumen adalah 27,3 km.
Matahari sudah empat puluh lima derajat dari garis horizontal sehingga udara hangat kian terasa. Perjalanan berikutnya adalah menuju Gombong yang juga masih dalam kabupaten Kebumen. Di kota Gombong ini ada benteng Van der Wijk lho, siapa yang belum tahu ayo berkunjung ke sana... Sepanjang perjalanan dari Kebumen ke Gombong terasa biasa-biasa saja, jalanan tidak mulus tapi juga tidak jelek alias menggunakan jalan lama yang tidak dihotmix lagi mungkin dananya terlalu besar kalo tiap lebaran harus diperbarui lagi. Jarak tempuh Kebumen-Gombong berkisar 22,6 km melewati kota kecamatan Karanganyar (jangan salah dengan kabupaten Karanganyar di timur kota Solo).
Setelah sempat beristirahat 10-15 menit di sebuah SPBU di Gombong yang bisa dikatakan lengkap karena menyediakan banyak ruang toilet dan ada restorannya, perjalanan dilanjutkan ke Buntu (bukan jalan buntu lho). Tidak jauh selepas Gombong, saya memasuki gerbang kabupaten Banyumas hingga sampai kota kecamatan Sumpiuh. Jalanan tersendat di depan pasar Sumpiuh karena polisi memberi separator di tengah jalan menggunakan tali plastik untuk memisahkan jalur dari barat ke timur dan sebaliknya atau mungkin digunakan agar masyarakat tidak seenaknya menyeberang jalan yang akan menambah kesemrawutan kendaraan (kenapa gak dibuatin jembatan penyeberangan saja, he..he.. kayak di Jakarta aja padahal ini ndeso). Akhirnya sampailah di kota Buntu tepatnya perempatan dimana kalo lurus ke Jakarta/Bandung kalo belok kiri ke Cilacap dan kalo belok kanan ke Purwokerto (ibukota kabupaten Banyumas). Di perempatan Buntu ini banyak sekali toko yang berjualan oleh-oleh seperti gethuk goreng Sokaraja atau lenthing khas Banyumas dan juga warung-warung soto khas Sokaraja. Maunya sih bawa oleh-oleh gethuk goreng Sokaraja tapi mikir-mikir bawaan sudah banyak dan kalo masih mampir-mampir bisa-bisa sampai Bandung tahun depan, he..he... Lewat sudah dan tercatat jarak tempuh Gombong-Buntu adalah 28,1 km.
Hela napas panjang untuk melanjutkan perjalanan ke Wangon masih di kabupaten Banyumas. Beberapa tahun sebelumnya setiap kali ada siaran arus mudik via RRI, nama Wangon ini sering terdengar. Ternyata Wangon ini merupakan pertigaan pertemuan arus dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Pantesan selalu dipantau petugas karena jadi sumber kemacetan di pertemuan arus itu. Tentunya saya memilih ke kiri alias jalur ke Bandung. Dari Buntu sampai Wangon melewati Sampang (Sampang masuk kabupaten Cilacap kirain di Madura) dan Rawalo. Jarak tempuh dari perempatan Buntu ke pertigaan Wangon adalah 25,0 km.
Berikutnya kota yang dituju adalah Majenang. Ingat Majenang ingatan saya kembali ke tahun 1995 yang pernah singgah di kota ini habis dari tour ke Bandung/Jakarta waktu makan di warung rasa masakannya terasa asinnya luar negeri sepertinya yang masak lupa kalo garam dikira gula, tapi karena lapar habis juga. Begitu keluar dari kecamatan Lumbir kabupaten Banyumas maka sampailah di kabupaten Cilacap. Jarak Wangon ke Majenang sejauh 47,6 km dengan melewati Lumbir, Karangpucung dan Cimanggu. Sejauh yang saya amati, Majenang termasuk kota yang ramai padahal hanya sebuah kota kecamatan seperti Turen, Tumpang, Lawang di kabupaten Malang atau Ambulu di kabupaten Jember.

Gambar 3. Alun-alun Majenang

Sejenak berhenti di Majenang, perjalanan dilanjutkan ke kota Banjar (daerah otonom hasil pemekaran kabupaten Ciamis). Orang banyak yang bilang kalo kota Banjar itu adanya di Kalimantan Selatan padahal ini di Jawa Barat. Kalo di Kalsel itu kota Banjarbaru atau Banjarmasin atau kabupaten Banjar. Dari Majenang masuk ke kecamatan Wanaraja hingga perbatasan provinsi Jateng-Jabar jalannya lumayan berkelok-kelok dengan kondisi jalan yang agak parah sehingga kalo lewat jalan tersebut seperti naik kuda yang mencal-mencal. Bagaimana tidak lha wong jalannya bergelombang diperparah dengan aspal yang terkelupas atau tambal sulam yang tak rata. Tapi segar juga udaranya karena melintasi perkebunan karet di kanan atau kiri jalan. Begitu gapura Jawa Tengah dan Kodam Diponegoro mengucapkan selamat jalan maka disambut gapura senjata khas Jawa Barat, apa hayooo, yakni Kujang yang berada di kanan dan kiri jalan dan tak lupa sambutan dari Kodam Siliwangi berupa patung prajurit Siliwangi dan Harimau. Saya berhenti diperbatasan ini karena waktu hampir menunjukkan pukul 12.00 yang ternyata tak lama terdengar suara adzan dhuhur. Wah kebetulan 50 m di selatan jalan ada masjid. Sholat dhuhur berjamaah hanya oleh tiga orang yakni satu imam dan dua jamaah diantaranya saya. Ternyata sang imam adalah yang tadi saya perhatikan sedang mengecat masjid. Karena saya musafir maka ada rukhsoh untuk dapat menjamak dan mengqoshor sholat ashar. Sebelum saya melanjutkan perjalanan, sang imam tadi sempat bertanya pada saya: "mau kemana?". Saya jawab "ke Bandung". Orang tadi kemudian melanjutkan perkataannya: "kalo lancar ke Bandung sekitar empat jam, saya sebelum puasa kemarin ke Jakarta naik bus berangkat jam 9 pagi sampai Jakarta jam 9 malam". Dalam hatiku berdoa semoga perjalananku lancar mengingat menurut Kemenhub bahwa arus puncak terjadi pada hari Sabtu (kemarin) dan Minggu (sekarang). Okelah, kulihat waktu menunjukkan pukul 12.30 aku harus melanjutkan perjalanan, sampailah di kota Banjar. Dari Majenang sampai ke pertigaan di kota Banjar jarak yang kutempuh sejauh 32,1 km.


Gambar 4. Gerbang provinsi Jawa Barat di kota Banjar

Kota berikutnya Ciamis. Sepanjang perjalanan di dalam kota Banjar, jalanan sangat mulus dan lebar. Arus kendaraan dari arah Bandung maupun Jakarta lewat jalur selatan ini semakin terlihat ramai dan padat. Untungnya perjalananku melawan arus mudik dimana dari arah timur ramai tapi lancar. Setelah menempuh jarak sejauh 22,7 km sampailah di kota Ciamis tepatnya di pertigaan kota dimana kalo ke kiri menuju Pangandaran dan kalo ke kanan menuju Bandung.

Gambar 5. Masjid Agung Ciamis di sebelah barat Alun-alun

Dari Ciamis, berikutnya menuju Tasikmalaya. Menurut yang kutahu seharusnya menuju Bandung tidak perlu melewati Tasikmalaya kota tetapi cukup pinggirannya saja. Tetapi karena arus kendaraan dialihkan polisi maka akhirnya saya dibelokkan ke Tasikmalaya kota hingga bertemulah bunderan di kota Tasikmalaya, tapi entah apa nama bunderan itu. Kulihat jarak yang telah kutempuh dari Ciamis ke Tasikmalaya menunjukkan angka 18,8 km.
Setelah keluar dari Tasikmalaya saya memilih jalur utama menuju Bandung melalui Malangbong, Jadi saya harus melewati kota Ciawi yang masih dalam kabupaten Tasikmalaya. Ternyata sampai di Ciawi pertigaan, suasana arus mudik kiat padat. Petugas dari kepolisian dibantu dari adik-adik Pramuka sibuk mengatur lalu lintas. Dari sinilah kemacetan mulai terjadi khususnya dari arah barat kendaraan merayap dengan kecepatan maksimal sekitar 25 km/jam. Dari bunderan di Tasikmalaya hingga tikungan sebelum pertigaan Ciawi ini jarak tempuhnya 21,5 km.
Perjalanan tetap dilanjutkan menuju Limbangan (kab. Garut) dengan melewati tanjakan Genthong yang terkenal dengan kemacetannya. Benar sekali, begitu sampai Genthong (kec. Kadipaten kab. Tasikmalaya) dari arah barat arus kendaraan berjalan dengan kecepatan seperti orang berjalan kaki, bahkan tidak jarang berhenti total alias mandheg. Saya yang dari arah timur masih agak beruntung karena kepadatannya tidak seperti yang dari arah barat hingga saya dapat melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Kendaraan dari arah barat khususnya roda dua berusaha bergerak mencari celah diantara kemacetan yang terkadang membahayakan bagi pengendara lain. Saya menemui sebuah kendaraan roda empat yang mogok di tikungan jalan, sehingga sebuah bus dari arah barat sempat mengambil badan jalan lajur saya yang sempat akan menghantam kendaraan roda dua yang berusaha mencari celah, untunglah tidak terjadi petaka. Di daerah Genthong ini akhirnya kubertemu lajur baru yang terpisah sehingga bisa mengurangi kemacetan, tapi sayang lajur ini hanya beberapa ratus meter saja dan kembali bertemu dengan kendaraan dari arah barat. Kemacetan dari Genthong ini ternyata masih berlanjut hingga saya sampai pertigaan Limbangan (belok kiri menuju Garut, lurus ke Bandung). Jarak tempuh dari Ciawi ke Limbangan ini 34,8 km melewati Malangbong. Tidak melelahkan tapi justru menyenangkan karena bisa merasakan mudik bersama jutaan orang yang tumpek bleg di jalanan.
Selanjutnya sudah di depan mata pasti tidak jauh lagi sampai Bandung, tapi saya harus melewati jalanan yang sudah sangat terkenal yakni Nagrek. Benar selepas Limbangan ketemu Nagrek dimana arus kendaraan tidak berbeda seperti di Genthong macet total sesekali bergerak perlahan. Untungnya dari arah timur menggunakan jalur baru dengan tiga lajur yang mulus dan melewati terowongan dengan celah-celah terbuka saya dapat bergerak dengan kecepatan hingga 80 km/jam, dan sampailah Cicalengka. Rupanya saya salah memilih jalur lurus sehingga masuk jalan melalui depan pasar Cicalengka dan pas di depan kantor kecamatan Cicalengka jarak yang kutempuh dari Limbangan sejauh 19,7 km.
Berusaha mencari jalan utama akhirnya ketemu lagi dengan kendaraan dari arah timur. Jalanan sudah besar dengan tiga lajur namun karena banyak juga kendaraan lokal khususnya roda dua yang lalu lalang sehingga terkesan semrawut karena berusaha saling mendahului tanpa mempedulikan kendaraan lain. Sampai juga di Cileunyi dan ini merupakan pertemuan arus dari keluar tol dari arah Jakarta dengan arus dari arah Cirebon lewat Sumedang dan tentunya dari arah yang saya lewati yakni jalur selatan dari Yogyakarta/Tasikmalaya. Jarak tempuh dari depan kantor kecamatan Cicalengka hingga depan terminal Cileunyi sejauh 12,3 km.
Di depan jalan Percobaan Cileunyi kendaraan lokal juga memadati hingga sampai depan terminal Cicaheum yang kukira semula jarak Cileunyi-Cicaheum hanya 5 km ternyata jarak yang tercatat adalah 12,9 km.
Alhamdulillah, akhirnya sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan saya ke depan pintu gerbang rumah di jalan Tamansari Bandung menjelang pukul 17.30. Jarak tempuh dari Cicaheum ke rumah sejauh 8 km. Dengan tidak terasa capek sedikitpun kecuali sebagian leher yang sedikit sulit ditolehkan saya mandi dengan dinginnya air kota Bandung. Setelah mandi dan rasa segar terasa di badan, leher yang sakit tadi sudah hilang, dan tak lama terdengar suara adzan maghrib. Langsung saja santap makan berbuka. Inilah untuk kedua kalinya saya berbuka puasa di rumah pada ramadhan 1434 H ini, karena hari-hari sebelumnya biasa berbuka di beberapa masjid di Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman, Maskam UGM, Mardliyah selatan RS Sardjito, Jogokaryan, dll) atau dapat undangan di tempat-tempat lain (rumah p.Agus Mulyanto desa Minomartani, rumah p.Ma'ruf Condong Catur, warung Bumbu Desa Jakal km 6, dan di rumah Qur'an utara masjid Nurul Asri Jakal km 5).


Sabtu, 19 Agustus 2017

MONUMEN SOCO KABUPATEN MAGETAN - JAWA TIMUR

Monumen Soco atau Tetenger Soco terletak di di desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Komplek Monumen Soco terdiri dari tiga bangunan utama, antara lain: Pendopo Loka Pitra Dharma, Gerbong Kerta Pati, dan Monumen/ Tetenger Soco.Monumen Soco diresmikan pada tahun 1989 oleh Ketua DPR RI M. Khasir Suhud. 

Monumen Soco didirikan untuk mengenang para pahlawan dan korban keganasan pemberontakan PKI tahun 1948. Seluruh korban berjumlah 108 orang. Monumen Soco didirikan di atas sumur bekas pembuangan mayat korban-korban keganasan PKI. Sebelumnya Para Korban diangkut dan disiksa di dalam gerbong kertapati, sehingga gebong ini turut dimonumenkan.

NAPAK TILAS JEJAK-JEJAK PERANG DIPONEGORO - JAWA TENGAH, D.I. YOGYAKARTA DAN JAWA TIMUR

Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830. Penyebab umum perang ini adalah terdapatnya rasa tidak puas yang hampir merata di kalangan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Gambar 1. Relief perang Diponegoro di wisata Kyai Langgeng kota Magelang

Di bidang politik, Belanda terlalu jauh mencampuri urusan intern keraton. Dengan seenaknya mereka memecat sultan atau pejabat lain yang tidak mereka sukai dan mengangkat orang-orang yang mereka senangi. Akibatnya, di lingkungan keraton muncul golongan yang pro-Belanda dan yang anti Belanda.
Berkembangnya budaya Barat di lingkungan keraton juga menimbulkan rasa tidak puas. Sebagian bangsawan terutama bangsawan golongan muda terpengaruh olehnya. Mereka sering mengadakan pesta sampai larut malam disertai dansa dan minuman keras. Para pemuka agama menganggap perbuatan itu tidak sesuai dengan ajaran agama. Bangsawan golongan tua menganggapnya dapat merusak nilai-nilai budaya tradisional.
Kebijakan yang menimbulkan rasa tidak puas yang luas ialah kebijakan di bidang ekonomi. Rasa tidak puas itu terdapat di kalangan penduduk biasa. Sebagian bangsawan pun memperlihatkan rasa tidak senang mereka.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo.

Gambar 2. Kraton Ngayogyokarta Hadiningrat di Yogyakarta

Konflik Pangeran Diponegoro dengan  Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan sarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.

Gambar 3. Bekas rumah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo Yogyakarta

Gambar 4. Tembok rumah yang tebal dijebol oleh pangeran Diponegoro saat dikepung Belanda

Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro beserta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.

Gambar 5. Goa Sriti di Samigaluh Kulonprogo

Setelah itu meneruskan ke arah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.


Gambar 6. Goa Selarong di Guwosari Pajangan Bantul

Kemudian, Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Dukungan juga datang dari Kyai Maja dan Nyi Ageng Serang.
Gambar 7. Makam Nyi Ageng Serang di Kalibawang Kulonprogo

Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.  Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata untuk mencari informasi guna menyusun setrategi perang.
 
Gambar 8. Makam pengikut Pangeran Diponegoro di Dekso Kulonprogo

Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awalnya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).

Gambar 9. Perbatasan Purworejo dan Magelang di Lowano, daerah perang Diponegoro

Perlawanan lalu berlanjut ke daerah lain: Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang. Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Gambar 10. Kompleks masjid pathok negoro Mlangi Sleman, sebagian makam pengikut Pangeran Diponegoro

Belanda kewalahan menghadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan strategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Belanda menerapkan setrategi Benteng Stelsel, benteng-benteng pertahanan  dibangun  dan  dijaga  terus-menerus  setelah   tentara   Belanda   berhasil menguasai daerah 
Gambar 11. Benteng Van den Bosch (benteng Pendem) di Ngawi

yang ditingalkan pasukan Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut, pasukan Diponegoro semakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima perangnya satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saat ia menerima tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan, Diponegoro langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir Perang Jawa. Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegoro merupakan pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam perang ini, banyak jatuh korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara itu ada 8000-an serdadu Belanda  tewas.

Gambar 12. Gedung tempat pangeran Diponegoro berunding dan ditangkap di Magelang

Dari cerita di atas sudah selayaknya kita bersyukur kepada Allah SWT, dan mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa !


Gambar 13. Monumen Pangeran Diponegoro di Alun-alun kota Magelang
 
Gambar 14. Replika prajurit Diponegoro di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

 








ALUN-ALUN KABUPATEN TULUNGAGUNG - JAWA TIMUR

Alun-alun Kabupaten Tulungagung, atau yang dikenal dengan sebutan “Taman Aloon-aloon" merupakan ikon dari Kabupaten Tulungagung. Taman...