Senin, 09 Januari 2012

MASJID AGUNG SUMENEP MADURA KABUPATEN SUMENEP - JAWA TIMUR

Berdiri menghadap alun alun kota Sumenep Masjid Agung Sumenep yang dulunya disebut masjid Jami, menjadi salah satu penanda kota Sumenep. Usianya yang sudah ratusan tahun namun masih berdiri megah menjadikannya sebagai salah satu warisan sejarah masa lalu sekaligus memberikan kebanggaan tersendiri bagi warga Sumenep.
  
  
Secara administratif, Masjid Agung Sumenep masuk dalam desa Bangselok, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Masjid ini seluas 100m x 100m dilengkapi dengan bangunan sekretariat, bangunan pesanggrahan kiri dan kanan, bangunan toilet dan tempat wudhu serta tempat parkir.Masjid Agung Sumenep dibangun setelah selesainya pembangunan Kraton Sumenep, pembangunan masjid ini digagas oleh Adipati Sumenep ke-31, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (berkuasa tahun 1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar, untuk menampung jemaah yang semakin bertambah. Bangunan masjid yang ada saat itu dikenal dengan nama Masjid Laju, dibangun oleh adipati Sumenep ke-21 Pangeran Anggadipa (berkuasa tahun 1626-1644 M) sudah tak lagi memadai kapasitasnya untuk menampung jemaah.

Pembangunan masjid Agung Sumenep di arsiteki oleh Lauw Piango, arsitek yang sama yang menangani pembangunan kraton Sumenep. Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M). Proses pembangunan masjid dimulai tahun 1198 H (1779M) dan keseluruhan proses pembangunannya selesai pada tahun 1206H (1787M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
 

Arsitektural masjid Agung Sumenep sepertinya memang sengaja dirancang oleh Arsiteknya waktu itu dengan menggabungkan berbagai unsur budaya. Arsiteknya yang ber-etnis Tionghoa turut menorehkan unsur budaya China pada seni bina bangunan masjid ini. Seni Arab, Persia, Jawa, India dan China menjadi satu kesatuan utuh pada bangunan masjid Agung Sumenep ini.
Bangunan utama masjid di tutup dengan atap limas bersusun. Atap limas bersusun atau berundak, susunan atap seperti ini selain merupakan ciri khas bangunan di tanah jawa yang menggunakan atap joglo tapi juga merupakan bentuk atap yang banyak dipakai pada bangunan klenteng yang biasa menggunakan atap bersusun. Di ujung tertinggi atap bangunan dipasang mastaka berbentuk tiga bulatan. 
Gerbang utama yang dibangun di masjid ini banyak di pakai di bangunan bangunan penting negeri China dan India, di dua negeri itu bangunan gerbang tidak semata mata sebagai pintu masuk utama tapi juga merupakan pos penjagaan. Bangunan ini cukup besar dan megah, dengan ruangan di atasnya, bisa jadi pada jamannya ruang ini merupakan tempat menyimpan beduk dan kentongan serta tempat muazin mengumandangkan azan. Sehingga wajar bila kemudian ruang di atas gerbang ini yang difungsikan layaknya menara. Gerbang masjid Agung Sumenep ini benar benar menyita perhatian karena bentuknya yang begitu besar dan megah. Jangan lupa bahwa masjid masjid awal di tanah air memang tidak dilengkapi dengan menara.Ukiran jawa dalam pengaruh berbagai budaya menghiasai 10 jendela dan 9 pintu besarnya. Bila diperhatikan dengan seksama, ukiran ukiran yang ada di pintu utama masjid ini sangat kental pengarus budaya China, dengan penggunaan warna warna cerah. Ukiran dengan nada yang serupa akan banyak di jumpai di daerah Palembang yang seni arsitekturalnya juga dipengaruhi cukup kuat oleh budaya China. Disamping pintu depan mesjid sumenep terdapat jam duduk ukuran besar bermerk Jonghans, diatas pintu tersebut terdapat prasasti beraksara arab dan jawa.
Sentuhan budaya China terasa lebih kental pada mihrab masjid. Uniknya masjid ini memiliki dua mimbar disisi kiri dan kanan mihrabnya. Hiasan keramik porselen warna biru cerah dengan corak floral mendominasi dua mimbar dan mihrab di masjid ini. Dilihat dari coraknya kemungkinan besar keramik porselen tersebut di import dari daratan China. Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.
Sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya, dengan sama sekali tidak mengubah bangunan aslinya. Didalam mesjid terdapat 13 pilar yang begitu besar yang mengartikan rukun solat. Bagian luar terdapat 20 pilar. Dan 2 tempat khotbah yang begitu indah dan diatas tempat Khotbah tersebut terdapat sebuah pedang yang berasal dari Irak. Awalnya pedang tersebut terdapat 2 buah namun salah satunya hilang dan tidak pernah kembali.
 

 

PELABUHAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI - JAWA TIMUR

Pelabuhan Muncar di Banyuwangi, Jawa Timur merupakan pelabuhan ikan terbesar kedua setelah Bagan Siapi-api di Sumatera. Berada di kecamatan Muncar menghadap ke selat Bali. Dari Banyuwangi dapat ditempuh melalui Rogojampi belok kiri menuju kecamatan Srono lalu belok kiri lagi menuju Muncar. 
   
   
Nelayan Muncar menghias perahu mereka dengan aneka warna yang mencolok, beserta berbagai ornamen lainnya yang menarik. Sebagian besar nelayan di sini memulai perburuan menangkap ikan pada tengah hari dan pulang pada keesokan harinya, sehingga ikan yang didapat masih segar. 
Mereka merupakan awak kapal penangkap ikan yang menggunakan jaring cincin. Jaring cincin merupakan alat penangkap ikan yang besar. Pengoperasiannya membutuhkan awak kapal yang banyak. Peralatan jaring cincin nelayan Banyuwangi terdiri dari dua kapal besar yang bergandengan, dan perangkat jaring yang panjangnya 300 sampai 500 meter, dengan lebar 10 meter.
Jumlah awak yang mengoperasikannya 50 orang. Pukul satu siang, saat ombak tidak terlalu besar dan cuaca cerah, merupakan saat yang paling tepat untuk memulai perburuan ikan.
Beginilah suasana saat perburuan dimulai. Sang nakhoda bernama Sabar, memimpin seluruh awak kapal menuju ke Selat Bali untuk mencari kawanan ikan tongkol. Mesin kapal dihidupkan. Kapal melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan pelabuhan Muncar.
Satu kapal di depan berfungsi sebagai pemburu kawanan ikan. Di kapal ini dipasang delapan mesin tempel. Di kapal depan juga ditempatkan jaring dan awak kapal yang bertugas menarik jaring, jumlahnya lebih dari 40 orang.
Delapan mesin digunakan agar kapal dapat berpacu kencang melebihi kecepatan kawanan ikan. Sehingga kawanan ikan permukaan yang hidup bergerombol seperti tongkol, lemuru maupun ikan layang tidak mampu menghindar dari jaring cincin.
Sementara kapal yang berada di belakang berfungsi sebagai penampung ikan hasil tangkapan.Jaring cincin digunakan karena kecepatan dan ketepatannya menangkap gerombolan kawanan ikan.
Sabar, sang nakhoda naik ke ujung tiang tinggi untuk mencari kawanan ikan. Matanya harus selalu awas mengamati gerombolan ikan. Bagi orang awam akan sulit melihat gerombolan ikan di tengah laut lepas, namun tidak bagi sabar, sang nakhoda.
Benar saja. Setelah berlayar lebih dari 4 jam, saat kapal tengah berada di perairan laut Bali, tiba-tiba kapal yang berada di depan melesat kencang, mengejar gerombolan kawanan ikan tongkol.
Tawur, inilah sebutan nelayan Muncar saat jaring digelar. Seluruh awak kapal sibuk menggiring kawanan ikan, agar masuk ke dalam lingkaran jaring cincin yang digelar. Bahkan di antara awak kapal ada yang terjun ke laut.

Setelah jaring tertebar penuh, kapal akan berputar membentuk cincin. Awak kapal yang berjumlah 45 orang mulai menarik jaring bersama-sama. Waktu yang diperlukan menarik jaring ini cukup lama, bisa mencapai 3 hingga 4 jam.
Untuk menambah semangat, para awak kapal menyanyi bersama-sama. Meskipyun syair lagunya tidak jelas. Kini saatnya kedua kapal saling merapat, dan kawanan ikan terkurung pada ruang sempit, sehingga terkumpul seperti ini.
Sensasinya benar-benar luar biasa saat kawanan ikan tongkol terkumpul dan dimasukkan ke tempat penampungan di lambung kapal. Sekitar 5 kwintal kawanan ikan tongkol tertangkap jaring pada tebaran jaring yang pertama. Ini termasuk tangkapan sedang, karena biasanya satu kali tebar dapat menjaring ikan lebih dari satu ton.
Perburuan dilanjutkan kembali. Dalam keadaan normal, tanpa terjangan ombak yang besar, nelayan sanggup menebar jaring sampai empat kali, dengan rata-rata hasil tangkapan 5 sampai 6 ton. Namun terkadang, hasil tangkapan bisa mencapai 10 ton dalam semalam.
Kapal selanjutnya kembali ke pelabuhan Muncar. Ikan hasil tangkapan disetorkan ke industri sarden, yang banyak terdapat di sekitar pelabuhan.
 

RAWA PENING AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG - JAWA TENGAH

Rawa Pening adalah danau sekaligus tempat wisata air dengan luas 2.670 hektare yang menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Rawa Pening ini berada di cekungan terendah lereng Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, dan Gunung Ungaran. 
 

Daya tarik yang ada di Rawa Pening: Wisata Tirta: dengan perahu tradisional, Penghasil enceng gondok sebagai bahan kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian nelayan dan petani ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.

  
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Di tengah tengahnya banyak sekali tumbuh enceng gondok yang hampir menutupi seluruh permukaannya sebagian menjadi tempat mencari ikan. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi. Saat menyewa perahu motor ke tengah rawa terasa sekali aura mistis dan misteriusnya, namun sayang segala potensi yang ada kurang bisa tergali karena pengelolaan yang terkesan seadanya. Untuk bisa ke tengah rawa pening ini bisa menyewa perahu motor dengan tarif 30 ribu rupiah untuk 30 menit max 6 orang.
 

WATU DODOL KABUPATEN BANYUWANGI - JAWA TIMUR

Watu Dodol berada persis di tengah jalan raya antara Banyuwangi-Situbondo Jawa Timur, dan tempat wisata alamnya di sebelah barat jalan dengan sebelah timur jalan adalah selat Bali. Di samping itu akan ditemukan pula patung gandrung bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Banyuwangi” yang mungkin ditujukan kepada para pengunjung yang menempuh perjalanannya dari arah Situbondo menuju Banyuwangi atau Bali. 

 
   
Jika kita turun ke area pantai, di situ akan ditemukan sumur air tawar yang keluar dari bebatuan sehingga oleh penduduk sekitar dibuatkan pembatas dari batu dan dibangun seperti sumur. Keunikan lain yang dapat ditemukan di pantai Watu Dodol ini adalah batu karang yang bentuknya berbeda dengan batu karang kebanyakan. Batu karang di pantai Watu Dodol berwarna hitam mengkilap dan sangat keras. Tumbuhan kaktus juga banyak ditemukan tumbuh di sekitar bebatuan.
 



Pantai Watu Dodol juga banyak menyimpan cerita sejarah, hal itu terlihat dari adanya Goa Jepang yang konon digunakan sebagai pertahanan pada perang dunia II. Cerita mistis juga ikut melengkapi keunikan pantai Watu Dodol dimana hal tersebut pernah ditulis pada harian Suara Merdeka yang menjelaskan bahwa “Batu Besar” yang ada di tengah jalan itu pernah dianggap mengganggu sehingga oleh tentara Jepang hendak dipindahkan. Namun, walau sudah puluhan orang dikerahkan untuk memotong batu tersebut agar bisa digulingkan, tidak membawa hasil. Lalu Jepang memutuskan memindakan batu itu dengan ditarik kapal. Ternyata Batu tersebut tetap saja tak bergeming dan kabarnya malah kapal yang menarik itu tenggelam.


Tips Menuju Wisata Alam Pantai Watu Dodol :
Dari Banyuwangi kota menuju pelabuhan Ketapang.
Dari pelabuhan Ketapang menuju pantai Watu Dodol sekitar 2 km.

EMBUNG TAMBAKBOYO KABUPATEN SLEMAN - D.I. YOGYAKARTA


Embung dalam bahasa Jawa berarti waduk, sedangkan Tambakboyo merujuk daerah tempat waduk tersebut berada, yaitu di Dusun Tambakboyo, Wedomartani, Ngemplak, kabupaten Sleman. Air waduk Embung Tambakboyo ini berasal dari sungai Tambak Bayan dan sungai Buntung. Waduk dibangun tahun 2003 dan memiliki luas genangan 7,80 ha dan volume tampungan 400.000 m3. Saat ini, Embung Tambakboyo dijadikan oleh warga Sleman sebagai tempat wisata air dan pemancingan yang mengasyikkan. Tempat ini biasa dijadikan sebagai tempat alternatif untuk memancing. Ikan yang tersedia berupa ikan wader, kotes, nila, dan sepat. 

  
Keberadaan waduk ini juga mempermudah warga sekitar dalam mendapatkan air sumur. Warga tidak perlu lagi menyuntik sumur setiap kali musim kemarau datang. Pemerintah Sleman juga sedang melakukan upaya konservasi lahan sekitar waduk dengan menanami berbagai jenis tanaman, seperti pohon tanjung, mahoni, palem, dan cemara. Hal ini sesuai dengan fungsi utama dari Embung Tambakboyo, yaitu konservasi, wisata lingkungan dan penyediaan air baku. 
  

 Waduk Embung Tambakboyo memiliki keistimewaan dari sisi lahannya yang luas dan hijau. Anda akan merasakan kelapangan dan kenyamanan udara yang segar jika berkunjung ke waduk ini. Panas terik matahari akan hilang oleh hijaunya pepohonan yang ada di sekitar waduk. Anda juga dapat melakukan olah raga air seperti mendayung kano, jet sky, dan sebagainya. Jika Anda lapar, Anda dapat memancing ikan di waduk dan membakarnya di warung sekitar waduk lalu menyantapnya.

Embung Tambakboyo terletak di Dusun Tambakboyo, Kecamatan Depok/Ngemplak Kabupaten Sleman, Yogyakarta atau sekitar 1,5 kilometer ke utara dari perempatan Ring Road Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Yogyakarta. Jika Anda ingin ke Embung Tambakboyo, maka untuk mencapainya cukup mudah, baik Anda menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jika menggunakan kendaraan umum, dari terminal Giwangan, Yogyakarta, Anda cukup naik bus jalur 10 atau bus armada RAS lalu turun di jalan desa menuju waduk. Setelah itu, Anda dapat berjalan kaki atau naik ojek menuju waduk. Namun demikian, Embong Tambakboyo sangat nikmat jika dijangkau dengan menggunakan sepeda ontel. Anda akan merasakan kenyamanan ketika mengendarai sepeda mengelilingi waduk.

MASJID AL-JABBAR KOTA BANDUNG - JAWA BARAT

Masjid Raya Al Jabbar terletak di kecamatan Gedebage kota Bandung berjarak sekitar 2 km tenggara Stasiun Gedebage Bandung. Masjid iini mulai...