Masjid Agung Sang Cipta Rasa didirikan pada abad ke-15 M oleh para
mubaligh Tanah Jawa. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati
menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsitek. Di samping itu, Raden Sepat
juga ditugaskannya untuk membantu Sunan Kalijaga dalam menunaikan amanah. Sebelumnya, ahli bangunan
Majapahit itu menjadi tawanan dalam perang Demak-Majapahit. Untuk
menyelesaikan proyek ini, sekitar lima ratus orang pekerja dari Cirebon,
Demak, dan Majapahit turut terlibat.
Alun-alun depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Menurut buku Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia, Masjid Agung Sang Cipta Rasa berdiri sejak 1498 M. Tarikh yang agak berbeda disebutkan dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia
karya Abdul Baqir Zein. Menurutnya, situs bernilai historis ini telah
ada mulai tahun 1480 M. Ada pula yang berpendapat berdirinya masjid itu
terjadi pada 1478 M dan 1489 M.
Terlepas dari soal keterangan tahun berdirinya, masjid tersebut
merekam memori sejarah dakwah Islam yang dilakukan para wali. Tidak
mengherankan bila masyarakat setempat terus merawat tradisi yang telah
berlangsung sejak ratusan tahun silam. Misalnya, budaya azan pitu. Seperti tampak dari namanya, tradisi itu harfiahnya berarti
‘mengumandangkan azan.’ Namun, yang dimaksud ialah bukan azan seperti
biasa. Pasalnya, ada tujuh orang muazin sekaligus yang mengumandangkan
panggilan shalat itu. Ada kisah yang melatari lahirnya kebiasaan
kultural tersebut.
Pintu Gerbang masjid Sang Cipta Rasa
Konon, dahulu kala ada seorang pendekar sakti yang bernama Aji
Menjangan Wulung. Pengamal ilmu hitam ini kerap kali mengganggu kaum
Muslimin. Sebab, dirinya membenci agama Islam. Dari hari ke hari,
kebenciannya itu kian akut. Akhirnya, Aji Menjangan menjadikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa
sebagai sasaran. Ia memanjat dinding dan bertengger di atas tempat
ibadah ini. Setiap muazin yang hendak menyuarakan azan diserangnya. Kaum Muslimin pun resah. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Sunan
Gunung Jati langsung mengundang para ulama setempat untuk bermusyawarah.
Setelah memohon petunjuk Allah SWT, mereka pun menyepakati solusi. Sunan Gunung Jati menunjuk tujuh orang untuk menjadi muazin
serentak. Mereka ditugaskannya untuk mengumandangkan azan secara
bersama-sama. Suara azan yang dilantunkan serempak itu menyebabkan Aji
Menjangan kebingungan. Pembuat onar ini hilang akal karena tidak tahu
arah sumber suara. Akhirnya, sosok pembenci Islam tersebut lari
terbirit-birit. Sejak itu, masjid tersebut tidak pernah diganggu lagi.

Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid
Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu azan dengan cara demikian dilantunkan
setiap hendak shalat lima waktu. Akan tetapi, tradisi tersebut pada saat
ini hanya dilakukan pada momen shalat Jumat, yaitu azan pertama.Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga berkaitan dengan narasi
wafatnya Syekh Siti Jenar. Sufi yang hidup pada abad ke-16 itu dituding
telah menyebarkan ajaran sesat. Karena itu, otoritas setempat yang
didukung Wali Songo lalu menjatuhkan hukuman mati atasnya. Pelaksanaan eksekusi digelar di area kompleks Keraton Kasepuhan,
dekat masjid tersebut. Konon, senjata yang digunakan untuk menghabisi
nyawa sang salik ialah keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.
Nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki makna tersendiri. Itu diambil dari kata sang yang berarti ‘keagungan’, cipta, yakni ‘dibangun’, serta rasa atau ‘digunakan.’ Ringkasnya, nama tersebut bermakna ‘bangunan agung yang dibangun untuk digunakan umat Islam.’ Pemilihan namanya mencerminkan tingginya rasa toleransi yang
ditunjukkan Wali Songo. Mereka tidak memilih nama yang kearab-araban,
tetapi justru mengutamakan unsur lokal. Dengan begitu, pesan yang hendak
disampaikan adalah bahwa ajaran Islam dapat mengakar dan tumbuh
berkembang di tengah masyarakat setempat.
Di serambi masjid Agung Sang Cipta Rasa
Berbeda dengan umumnya masjid-masjid klasik di Pulau Jawa, Masjid
Agung Sang Cipta Rasa memiliki atap yang nonkemuncak. Bentuk limasan
susun tiga itu disebut pula sebagai lambang-teplok.
Keindahannya menginspirasi banyak orang, termasuk Thomas Karsten.
Arsitek Hindia Belanda ini mendesain Museum Sonobudoyo dengan mencontoh
corak pada bangunan di Cirebon tersebut.
Ada 12 saka guru atau pilar utama yang menyangga atap masjid
tersebut. Antara satu dan yang lainnya terhubung dengan balok-balok
melintang. Masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah
satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan
diikat. Tiang tersebut disebut pula sebagai sokotatal. Ada makna filosofis di balik tiang sokotatal,
yakni bahwa persatuan yang kokoh bisa menopang beban seberat apa pun.
Mengenai pembuatnya, terdapat beberapa sumber. Ada yang mengatakan,
Sunan Kalijaga-lah kreatornya. Namun, ada pula yang menyebut Sunan
Gunung Jati.

Ruang shalat utama memiliki luas 17,8x 13,3 m persegi. Untuk
memasukinya, jamaah dapat melalui satu dari sembilan pintu—semuanya
melambangkan jumlah Wali Songo. Di dalamnya, terdapat mihrab dengan
ukiran-ukiran bermotif bunga teratai, hasil kreasi Sunan Kalijaga. Munculnya motif teratai juga menunjukkan adaptasi seni arsitektur
Hindu. Masih di bagian mihrab, ada tiga buah ubin dengan tanda khusus
pada masing-masingnya yang mengisyaratkan pokok-pokok agama, yaitu iman,
Islam, dan ihsan. Jamaah yang hendak mencapai ruang utama, harus melalui pintu
kecil dan pendek. Alhasil, mereka mesti membungkukkan badan. Ini
mengandung makna simbolis bahwa seorang Muslim harus merendahkan diri
ketika beribadah. Jangan sampai hati diliputi sifat sombong atau riya.
Sumber: Republika.id