Jumat, 12 Mei 2017

CATATAN PERJALANAN MALANG-LUMAJANG VIA SELATAN: 60 KM DAMPIT-CANDIPURO DENGAN 485 TIKUNGAN

Perjalanan Malang-Lumajang ini sebenarnya sudah lama saya lakukan tepatnya tanggal 15 Juli 2009, namun saya ulangi lagi dari arah sebaliknya (Lumajang-Malang) tanggal 12 Maret 2017 dan lima hari sebelum lebaran tahun 2022 . Karena flashdisk yang tertancap di kepala saya belum hilang/dicabut maka saya tuangkan dalam tulisan ini. Bisa jadi yang saya tuliskan ini dengan kondisi real sekarang sudah ada perubahan. Siiiiiiiiiiip deeeeehhh......

Gladak Perak Lumajang

Pada umumnya orang-orang yang mengadakan perjalanan dari Malang ke Lumajang atau sebaliknya lebih suka menggunakan jalur utara via Pasuruan dan Probolinggo karena jalan lebar dan relatif lurus sehingga waktu tempuh lebih cepat. Terlebih sekarang ini jalur Pasuruan-Probolinggo diperlebar dengan tambahan satu lajur lambat. Namun dasar saya menyukai tantangan disamping ingin mengenal lebih jauh jalur selatan dan tidak terburu-buru waktu, saya mencoba mengadakan perjalanan dari Malang ke Lumajang via jalur selatan: Malang-Turen-Dampit-Pronojiwo-Piket Nol-Pasirian-Lumajang yang dikenal berkelok-kelok dan relatif sempit dibanding via jalur utara.
Meskipun keberangkatan saya tidak dilepas walikota Malang, saya memulai start dari alun-alun Bunder depan balai kota Malang pagi hari rabu tepat anak saya kedua bernama Aisyah Nurafni berulang tahun yang ke-7, saya mengambil jalan di depan stasiun KA Malang hingga sampailah di terminal Gadang. Kemudian saya melanjutkan menuju kota Turen melewati Krebet. Jarak tempuh dari alun-alun bunder Malang hingga pertigaan desa Talok Turen sejauh 26,9 km. Sepanjang jalan itu terasa biasa-biasa saja tanpa ada kendala yang berarti karena jalan cukup lebar, jarang tanjakan dan tidak banyak tikungan. Hanya saja jalanan ramai oleh kendaraan, khususnya dari kota Malang hingga pertigaan Krebet, selepas Krebet hingga Turen cukup ramai dan lancar.
Selepas pertigaan Talok Turen, saya memilih belok kiri (timur) menuju Dampit. Pertigaan Talok ini merupakan arus pertemuan kendaraan dari arah Malang, Kepanjen/Blitar dan Dampit. Dari Talok Turen hingga perempatan depan pasar Dampit berjarak 9,8 km.
Keluar dari Dampit sudah mulai terasakan jalan tikungan dan tanjakan serta banyak kendaraan truk pengangkut pasir yang berlalu lalang. Maklumlah, di daerah Malang bagian tenggara dan Lumajang bagian selatan banyak yang berburu pasir karena pasir Semeru terkenal kualitas super berwarna lebih hitam dibandingkan pasir lain pada umumnya dan baik untuk pengecoran. Mulai keluar dari Dampit saya mencoba menghitung banyaknya belokan tanpa perlu menggunakan hitungan tasbih tapi cukup disimpan di otak saja. Jalanan yang tidak terlalu lebar dan berkelok-kelok membuat saya sulit untuk mendahului kendaraan mobil di depan. Hitungan saya selepas Dampit hingga Candipuro sejauh kurang lebih 60 km ada sekitar 485 tikungan (coba sampeyan sekali-kali menghitung banyaknya tikungan jika lewat sana tapi nggak nyuruh lho !). Ini artinya banyaknya tikungan/kelokan ada sebanyak rata-rata 8 tikungan tiap kilometernya atau setiap 123 m ketemu satu tikungan. Di sisi lain, pemandangan alamnya sangat menakjubkan. Di sebelah utara jika cuaca cerah akan terlihat dengan jelas pasak bumi gunung Semeru gagah menjulang sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa (3.767 m dpl) yang kadang-kadang tiap 10 menit sekali batuk dan mengeluarkan asap. Ketika saya melintas kebetulan Semeru tertutup abunya sendiri karena sedang berulah tidak batuk lagi melainkan bersin sehingga sebagian wilayah di sisi selatan Semeru mengalami hujan abu. Di sepanjang jalan ini pula kita bisa mampir di tempat wisata misalnya Goa Tetes yang terletak di dekat gerbang perbatasan kabupaten Malang dan kabupaten Lumajang, dan juga Piket Nol untuk melihat Semeru dari ketinggian yang terletak antara Pronojiwo dan Candipuro. Juga, jika pas musim salak anda akan menemui banyak penjual salak di daerah Pronojiwo. Saat anda di sekitar Jembatan Perak sebaiknya lebih ekstra hati-hati karena jalanan sepi bahkan saat saya melintas jalan menemui seekor kera hitam ekor panjang menyeberang jalan tidak melalui zebra cross dan tanpa diseberangkan polisi.

Gambar 1. Tikungan di Pronojiwo

 Setelah Piket Nol, jalanan terus menurun hingga Candipuro dengan kiri jalan tebing yang tinggi dan sebelah kanan jurang yang dalam. Pada waktu itu banyak "polisi" liar yang mengatur lalu lintas di setiap tikungan bertebing tinggi dengan meminta imbalan uang. Namun kabarnya setelah adanya razia preman yang digencarkan polisi setelah ada kejadian di Jakarta kemudian dilanjutkan di seluruh Indonesia, maka tidak tampak lagi orang-orang itu. Masih selepas Piket Nol, berjejer warung penjual makanan dengan tempat-tempat istirahat menghadap ke jurang sehingga dapat melihat sungai bekas aliran lahar gunung Semeru.
Setelah melalui Candipuro, selanjutnya menuju Pasirian. Dari Candipuro hingga Pasirian jalanan sudah terasa nyaman karena jarang tikungan, tidak ada jurang dan tebing di sisi jalan dan jalan tidak naik turun lagi. Sampailah di Alun-alun Pasirian dengan jarak tempuh dari Candipuro sekitar 5 km.

Gambar 2. Gerbang masuk Pasirian dari arah Candipuro/Dampit

Keluar Pasirian berikutnya menuju Lumajang. Dari Pasirian ke Alun-alun Lumajang berjarak 19,7 km dengan melewati kota kecamatan Tempeh dengan kondisi jalan yang sudah cukup lebar. Hanya saja waktu saya melintasi jalan ini dari Pasirian sampai menjelang gerbang gapura kota Lumajang jalanan kasar yang tambal sulam sehingga jika melaju cukup kencang rasanya mencal-mencal kayak naik kuda liar Sumbawa. Lega rasanya setelah memasuki gerbang "Lumajang Atib Berseri" sebagai pertanda telah memasuki ibukota kabupaten Lumajang.

Gambar 3. Gerbang masuk kota Lumajang dari arah Pasirian

Sesampai di alun-alun Lumajang saatnya saya berburu kuliner untuk mengisi perut. Saya memilih mie ayam makanan kesukaan saya. Setelah puas makan saya mencoba mengitari alun-alun dan beristirahat sejenak di depan pendopo kabupaten.

Gambar 4. Di depan kantor bupati Lumajang

Jika saya perhatikan, jarak Malang-Lumajang via selatan tadi sejauh 122,2 km lebih dekat daripada via utara sejauh 138,7 km. Namun dalam hal waktu tempuh, Malang-Lumajang via selatan lebih lama dibanding via utara, maklumlah kecepatan saat di jalan berliku sepanjang 60 km hanya maksimal 40 km/jam. Hal inilah yang mungkin menjadikan mas Amin (sopir FMIPA Universitas Jember) enggan melewati jalan ini saat mengantar saya dan orang-orang MIPA takziah ke bapaknya pak Kusno sewaktu meninggal di Tulungagung.

Begitu juga perjalanan sebaliknya dari Lumajang-Malang. Tikungan awal saya hitung dari depan SMK Pembangunan Candipuro Lumajang. Kelokan ke 97 berada di gerbang masuk desa Supiturang kecamatan Pronojiwo. Kelokan di depan SMP Negeri Ampelgading merupakan kelokan ke 303. Kelokan terakhir yakni kelokan ke 485 berada di pertigaan ke arah Sukodono Dampit.

Gambar 5. Kelokan pertama (dari arah Lumajang-Malang) di depan SMK Pembangunan Candipuro

Gambar 6. Kelokan ke 97 di gerbang desa Supiturang Pronojiwo

Gambar 7. Kelokan ke 303 di depan SMPN Ampelgading

Gambar 8. Kelokan ke 485 di dekat pertigaan ke Sukodono Dampit

Gambar 9. Sempat singgah di air terjun Tumpak Sewu Pronojiwo Perbatasan Lumajang-Malang

Gambar 10. Mengulangi lagi ke air terjun Tumpak Sewu
 
 
Gambar 11. Mengulangi lagi untuk ketiga kalinya ke air terjun Tumpak Sewu

ALUN-ALUN KABUPATEN TULUNGAGUNG - JAWA TIMUR

Alun-alun Kabupaten Tulungagung, atau yang dikenal dengan sebutan “Taman Aloon-aloon" merupakan ikon dari Kabupaten Tulungagung. Taman...